Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)
Written by Mohammad Syarwani
I. Sistem Produksi Barat
Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal
dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem
produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain
-melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
-melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan kebutuhan bahan,
penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
-terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
-terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai penyimpan
persediaan, dll.
Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik
dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi
dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan
unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena
negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi
industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak
begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam
menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri
barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.
Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan
keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi
dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik
produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang
pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.
II. Sistem Produksi Jepang
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu
(Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah
memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk kemubadziran antara
lain adalah
Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time),
mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal
produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang
tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang,
banyak-nya karyawan yang absen, dsb.
Kemubadziran dalam MateriPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0al, misalnya terlalu banyak buangan (scraps,
chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau
material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang,
nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.
Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor,
banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam
penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi,
dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources
yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama
untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas
dan produktivitas.
Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai
berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.
Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk
dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman
(delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa
dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu
Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi
yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang
dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian
kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer
yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan
dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory
dapat dilaksanakan.
Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC
(Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zero
Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian
kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para
pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang
tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi
dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan
baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material,
Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu
faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat
karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari
perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara, yaitu :
a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu
kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan
batasan tugas dan tanggungjawabnya.
b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain
diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan
(boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika
karyawan yang ber-sangkutan absen.
Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi
pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan
tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat
karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada
pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif
antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya
blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat
gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.
c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap
karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan
atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran
kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang
lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu
barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya
jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan
membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan
menjadi budayanya.
No comments:
Post a Comment