Matikan TV Kita!
Ditulis oleh Junarto di/pada September 8th, 2007
“Jangan tonton acaranya dong kalau nggak suka,” kata seorang pengurus Asosiasi Jurnalis Televisi Seluruh Indonesia (AJTSI) dalam sebuah seminar menanggapi kritik para peserta atas tayangan televisi yang kebanyakan dibuat asal-asalan dan mengekspoitasi selera rendah manusia.
Dia berargumen, jika masyarakat tidak menonton, rating acara yang bermasalah itu akan turun, sehingga acara itu pun dihentikan karena tidak ada agen iklan yang bersedia memasang siaran niaga pada jam acara tersebut. Kenyataannya, menurutnya, rating acara-acara yang bermasalah itu justru tinggi, jadi tidak ada alasan bagi televisi menghentikan penayangan mereka.
Itulah gambaran nalar para pelaku awak televisi kita yang dengan gampang mempertuhankan rating, sehingga terciptalah cara pandang yang simplistis ini: tayangan menciptakan rating dan sebaliknya rating pun menentukan tayangan. Dengan cara pandang seperti ini, mereka mengabaikan aspek-aspek lain di luar logika komodifikasi tayangan semisal dampak visualisasi rekaan televisi terhadap proses pembelajaran sosial.
Pemahaman yang menyederhanakan itu memperlihatkan betapa rendah kualitas para awak televisi, sekaligus merefleksikan jejak sejarah industri televisi di tanah air. Menurut Sunardian, industri televisi lahir dengan latar belakang yang berbeda dengan surat kabar dan radio. Surat kabar yang berkembang pada awal abad ke-20, umpamanya, membawa semangat penyadaran untuk menentang kolonialisme. Begitu pula radio pada era 1940-an tumbuh dengan misi perjuangan. Akan tetapi, televisi swasta pada akhir dekade 1980-an lahir karena ‘kecelakaan.’ Ia dipaksakan ada tanpa perencanaan matang, sekedar memenuhi ambisi kroni-kroni penguasa pada saat itu.
Pendirian RCTI, misalnya, berkaitan dengan distribusi kemakmuran yang timpang. Tujuh puluh peratus kapital nasional menumpuk di Jakarta dan dikuasai oleh Keluarga Cendana dan kawan-kawan mereka. Penumpukan modal yang besar itu membuat mimpi untuk membangun sebuah stasiun televisi swasta yang membutuhkan ratusan miliar rupiah mungkin diwujudkan. Begitu pula kemunculan stasiun-stasiun televisi berikutnya-seperti TPI, SCTV, Indosiar-cenderung disebabkan oleh faktor Keluarga Cendana, dan pada dasarnya taklayak disebut sebagai industri televisi lantaran tidak didukung infrastruktur yang memadai. Tiada sumber daya manusia yang menguasai penyiaran. Tidak ada juga regulasi tentang penyiaran. Regulasi baru dibuat kemudian sekedar mengesahkan perilaku Keluarga Cendana. Boleh dibilang, industri televisi di tanah air dibangun dengan pelbagai ketidaksiapan (h.8-9).
Maka, stasiun televisi bertumbuh tanpa visi, juga tanpa nalar yang tepat. Secara sempit ia sekedar diarahkan sebagai mesin pencetak uang. Dalam situasi serba tidak siap inilah televisi-televisi swasta menciptakan, dan menyebarkan sebuah budaya tunggal yang dominan dan meminggirkan budaya-budaya lain Nusantara yang sesungguhnya beraneka dan mewujud. Sebelas stasiun televisi Jakarta mencekoki mata-telinga sembilan puluh persen penduduk Indonesia yang heterogen dengan tayangan-tayangan Jakarta sentris. Mulai berita, warta hiburan, sinetron, permainan, musik, dan panggung hiburan, semua mencerminkan masyarakat kota dengan gaya hidup mereka.
Satria Naradha, seorang pendiri Bali TV, (Media Watch, 38/2005) sampai-sampai merasa gusar lantaran muda-mudi Bali kini terbiasa mengucapkan kata-kata yang kejakarta-jakartaan. Selain itu, kata Naradha, masyarakat daerah lebih akrab dengan sinetron Raam Pundjabi ketimbang lakon-lakon daerah. Pendek kata, daerah telah menjadi korban penuhanan rating oleh awak televisi Jakarta.
Tentu saja, penuhanan rating juga menurunkan kualitas tayangan karena kualitas dengan demikian harus dikalahkan. Para pekerja kreatif di belakangnya, umpamanya, menjadi ‘tukang ketik’ yang menulis tanpa perenungan ataupun pendalaman. Mereka sekedar memenuhi tuntutan produksi akan apa yang dipercaya dapat mengejar rating (h.77). Sebuah acara yang berating tinggi di sebuah stasiun televisi pasti akan ramai-ramai ditiru habis-habisan oleh stasiun-stasiun televisi yang lain.
Sesungguhnya awak televisi salah menafsirkan rating dengan menempatkannya sebagai ukuran (h.93). Padahal rating bukan kualitas (h.92) dan hanya melihat jumlah penonton tanpa memedulikan kesukaan (preferensi). Dengan kata lain, pemuja rating menafikan kemungkinan penonton menonton sebuah acara televisi karena itu kebiasaannya ataupun lantaran pilihan mereka pada dasarnya terbatas. Faktor inilah yang bisa menyebabkan rating menjadi tinggi dan mengelabui pemasang iklan maupun awak televisi.
Bahkan dalam wawancara saya dengan Direktur Penelitian A. C. Nielsen Irawati, terungkap bahwa pihaknya sama sekali tidak berpretensi membuat sebuah generalisasi bahwa keluaran rating menunjukkan kecenderungan perilaku menonton masyarakat secara nasional. Sebab, katanya, pegambilan sampel hanya dilakukan di sembilan kota di tanah air: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makasar, Palembang, Denpasar, Yogyakarta. Saya pun menemukan bahwa pengambilan sampel juga tidak menjangkau desa-desa yang dihuni delapan puluh peratus rakyat Indonesia. Kesembilan kota itu dipilih sebagai sampel untuk menuhi kebutuhan pengiklan dan produsen karena sebagian besar barang dan jasa beredar di kota-kota itu. Jadi, di sini jelas bahwa awak televisi tidak bersikap kritis terhadap metodologi rating A.C Nielsen. Boleh dibilang, mereka berusaha memenuhi selera penduduk sembilan kota yang minoritas, tapi justru mengorbankan mayoritas penduduk Indonesia.
Standar Ganda Awak Televisi
Setelah Suharto jatuh, pengusaha dan awak televisi memperoleh kebebasan penuh melakukan kegiatan mereka. Kejatuhan Suharto dijadikan sebagai alasan oleh pengusaha dan awak televisi swasta menolak Undang-undang No.24 tahun 1997 tentang perizinan dan kewajiban pancar-terus siaran-siaran TVRI. Akan tetapi, ketika Undang-undang No.32/2002 disahkan, mereka juga menolaknya dengan alasan undang-undang itu mengekang kebebasan dan mengembalikan otoritarianisme. Padahal, seharusnya, jika Undang-undang No.32 ditolak, yang berlaku adalah undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No.24/1997.
Undang-undang No.32/2002 secara adil mengatur hak-hak masyarakat mendapatkan informasi (h.110) dan memberi negara kewenangan tata kelola media siaran melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Namun, pada praktiknya ia belum bisa dijalankan karena belum ada peraturan pemerintahnya akibat ketidakikhlasan pemerintah memberi KPI kewenangan penuhnya. Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono yang melihat televisi strategis untuk kampanye pemerintah membuat tafsiran sendiri bahwa ‘negara’ yang dimaskud Undang-undang No.32 tahun 2002 adalah ‘pemerintah.’ Begitu juga penolakan para kapitalis media terhadap undang-undang ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan berkurangnya aktivitas akumulasi modal mereka. Perlawanan mereka terhadap keberadaan KPI dengan mengajukan uji materil Undang-undang Penyiaran menunjukkan egoisme, keangkuhan, dan ketidakpedulian terhadap kebaikan bersama.
Dalam situasi lawless ini gelombang kedua gelombang kedua stasun-stasiun televisi swasta lain muncul (Metro TV, Trans TV, Lativi, TV7, Global TV) (h.10). Mereka mengudara tanpa kendali sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka. Para awak televisi memikirkan kepentingan mereka semata, yaitu mencetak laba. Namun, mereka tak memedulikan dampak buruk akibat perilaku mereka yang semena-mena.
Dampak Buruk Televisi
Dalam ilmu komunikasi, studi tentang dampak menghasilkan simpulan yang berbeda-beda, mulai kuat, lemah, dan akhirnya moderat (Severin, 1997). Tapi Sunardian berpendapat acara-acara televisi yang mengabaikan norma mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap anak-anak, remaja. Sunardian mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua tahun yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses wiring-proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak-menjadi tidak sempurna (h.141). Sebab, bayi yang berada di depan televisi tidak mempunyai pengalaman empiris. Gambar-gambar televisi mengekspolitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi yang meloncat-loncat sehingga mengganggu konsentrasi mereka (h.142).
Adapun pada remaja, Sunardian meaykini bahwa tayangan-tayangan sinetron yang tipologis dan mengabaikan aspek sosiologis dan psikologis menyebabkan remaja tidak berkesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya dan melihat segala sesuatunya serba artifisial. Kehidupan nyata akan membuat mereka patah semangat dengan gampang kecewa (h.143). Sementara itu, kaum ibu bisa kehilangan jati diri karena diombang-ambing hasrat untuk mengkonsumsi dan memiliki( h.147). Meskipun begitu, tentu saja, semua hipotesis ini masih harus diujji dengan kajian mendalam.
Buku karya Sunadian ini benar-benar layak mendapatkan tahniah. Buku ini berhasil mengkritik fenomena pertelevisian di tanah air secara menyeluruh, mulai latar belakang kelahiran televisi di Indonesia, kandungan tayangan dan penyeragaman, konteks praktik produksi, konsep dan praktik rating, dampak, dan konteks politik-ekonomi. Meskipun tidak bisa dibilang ilmiah dalam arti menerapkan teori dan metodologi yang ketat, buku ini banyak menyuguhkan fakta aktual sehingga tetap layak dijadikan rujukan, terutama oleh peneliti atau pemantau media, ataupun praktisi media-agar wawasan mereka terbuka tentang konteks dunia kerja mereka. Para pengamat sosial dan mahasiswa komunikasi mungkin dapat memperoleh rujukan empiris tentang praktik industri televisi. Bahkan ibu-ibu rumah tangga bisa mendapat cakrawala baru akan pentingnya melindungi keluarga dari pengaruh buruk televisi, misalnya dengan jalan sederhana: mematikan televisi.
Judul Buku: Matikan TV-MU!; Penulis: Sunardian Wirodoni; Tebal: 177 halaman + xix; Penerbit: Resist Book, Tahun: 2005
No comments:
Post a Comment