Standart Islam = 3 Generasi Terbaik (Shahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in)
Sabtu, 03 Maret 2007
Sebagai seorang muslim, kita memiliki aqad (janji) dengan Allah SWT bahwa kita setuju untuk mematuhi dan mentaati semua yang berasal dari Allah SWT yang disampaikan pada kita melalui Rasulullah Muhammad SAW berupa Al-Qur`an atau Sunnah (perkataan-perkataan dari Rasulullah SAW), mengambil keduanya sebagai sesuatu yang haq (sebagai kebenaran yang absolut), kebenaran yang diketahui melalui wahyu dan tidak melalui manusia meskipun manusia dapat juga membawa kebenaran. Hal ini penting untuk dipahami dengan memulai kebenaran yang ada dalam bentuk Al-Qur`an dan Sunnah yang tidak dapat dirubah atau diganti, jika standart kebenaran berasal dari manusia maka manusia dapat salah atau keliru dan membuka peluang untuk terkena bisikan syaithan atau dengan arti yang lain.
Standart Islam adalah standar dimana Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk mematuhi yang terdiri dari Islam sebagai jalan hidup orang-orang yang beriman, dalam perbuatan-perbuatan dan transaksi-transaksi sebagaimana pemahaman yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat utamanya secara terperinci beserta generasi-generasi yang mengikutinya yaitu generasi tabi’in dan tabi’it tabi’in. Secara keseluruhan generasi yang bisa kita ikuti adalah generasi shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang secara pemahaman mereka sebagai salafus saleh, pemahaman mereka adalah pemahaman yang salafiyah atau siapa saja yang mengikuti manhaj atau jalan hidup dari salafi. Mengapa Para Shahabat Yang Dijadikan Standar ?Para shahabat adalah shahabat–shahabat Rasulullah SAW dan mereka berbicara langsung dengan beliau. Meraka pandai atau fakih dalam semua pengetahuan tentang Islam yang berbahasa Arab. Mereka memiliki guru yang terbaik dalam mengajar yaitu Rasulullah SAW dan beliau memiliki pengajaran yang terbaik dari segala pengajaran atau pendidikan karena langsung dari Allah SWT, kita tidak bisa bertanya langsung pada Rasulullah SAW, tidak seperti shahabat Rasul, mereka telah belajar pedoman dari grammar bahasa Arab atau mereka telah cakap di dalam membaca dan menulis bahasa Arab sebagai standar pemahaman. Mereka kita gunakan sebagai pemahaman pengetahuan bagi kita berdasarkan tingkatan pemahaman shahabat bukan dengan tingkatan pemahaman yang lain. Sebagai contoh pada saat Rasulullah SAW, penulisan Arab tidak memasukkan tanqit (tanda titik), tidak juga tashkil (harokat) seperti pada huruf daal (…) dan zaal (…) bisa terlihat sama. Mirip kedudukan bahasa Arab seperti pengetahuan-pengetahuan atau pemahaman Islam lainnya yang harus berlandaskan atas shahabat–shahabat Rasul yang mana merupakan bagian atau bidang dari sikap dan perilaku mereka, dalam membaca, memahami teks tanpa membuat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, semua yang datang setelah itu yang berusaha memandangi mereka (para shahabat), dalam hal ini, standar dan prinsip-prinsip mereka banyak menyimpang, dusta/kebohongan sehingga tidak bisa kita jadikan standar dalam memahami Islam. Bahasa Arab adalah bahasa yang diperlukan untuk mamahami hadits-hadits sebagaimana pemahaman Islam yang lain, kedudukannya sama yakni berasal dari khasanah pengetahuan Islam. Untuk semua topik-topik dalam Islam kita harus mencontoh Rasulullah SAW dan shahabat –shahabat-nya. Jika kita telah menjadikan dasar perbuatan kita atas dasar standar ini, maka bisa dikatakan bahwa kita telah melakukan Al-Ittiba’ atau telah mengikuti Rasulullah SAW dan para shahabat. Ittiba’ ini tidak hanya dibatasi mengikuti generasi pertama yang termasuk diantaranya tabi’in dan tabi’it tabi’in tapi juga mengikuti dan mendukung ulama-ulama yang masih berdiri dan mengikuti standar ini hingga hari ini. Dalil Untuk Mengikuti Shahabat Nahjus Salaf (Jalannya Salafus Sholeh) meliputi permasalahan aqidah (keimanan), amal (perbuatan) dan Minhaj (metode) dan sekarang kita akan terangkan secara jelas sumber-sumbernya yang berasal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana yang Allah SWT perintahkan kepada kaum muslimin untuk mengikuti shahabat dan mengikuti pemahaman mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`anul Karim bahwa kita harus mengikuti iman dari Rasulullah SAW dan shahabat–shahabatnya sebagai suatu kewajiban.“ Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqoroh : 137)Secara bahasa, dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata dalam bentuk yang plural (jamak) untuk kata ‘iman’ , ‘amantum’ mengindikasikan bukan hanya Rasulullah Muhammad SAW tetapi juga menunjukkan atas siapa saja yang beriman dengannya seperti para shahabat. Perluasan makna ini lebih lanjut dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa Qotadah, Ibnu Abas dan Ibnu Mas’ud berkata bahwa “ Maka jika mereka beriman kepada apa yang yang kamu telah beriman kepadanya …..” artinya jika orang-orang beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah SAW dan shahabat–shahabatnya beriman ……”Berkenaan dengan pengertian dari shahabat–shahabat Rasulullah, secara jelas dalam keterangan lain disebutkan bahwa : “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan pada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa “ (QS Al-Fath, 48 : 26)Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa, kalimat tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa Allah telah mewjibkan kepada para shahabat kalimat taqwa. Kata tersebut ada dalam bentuk jamak (plural) yang mengindikasikan bahwa yang dimaksudkan itu adalah keduanya yaitu Rasulullah SAW dan shahabat-shahabatnya, lebih lanjut Ibnu Abbas memperinci dalam tafsirnya beliau menjelaskan : “ Kalimat taqwa adalah tauhid dan wahyu Allah”. Lanjutan dari ayat tersebut berbunyi :“dan adalah mereka berhak dengan kalimat itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu” Dalam tafsir Imam Qurtubi, dilaporkan dari Qotadah dan Al Bara’ Ibn Aziz bahwa Al-Kalimatu Taqwa adalah laa ilaaha ilallah seperti dalam ikrar dari keimanan. Dilaporkan juga dari Ibnu Abbas dan Qotadah bahwa sakinah dalam ayat ini berarti wahyu, yang dapat dilihat dari ketenangan yang ada pada diri Rasulullah SAW dan lawan dari kesombongan (yang ada pada diri orang-orang kafir).Dalam Islam secara makna, statement Kalimatu-Taqwa memiliki beberapa arti, yaitu : 1. Laa ilaaha ilallah – kalimat syahadat atau ikrar keimanan, yang akan dijelaskan lebih lanjut. 2. Dilaporkan dalam Said bin Jubair dan Dahaaq menunjukkan atas Urwatil Wutsqa sebagai kalimat taqwa sebagaimana dalam ayat di bawah ini “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “ (QS. Al Baqarah, 2:56) 3. Kalimat Taqwa berarti kalimat kalimat toyyibah, seperti disebutkan dalam ayat, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit “ (QS. Ibrahim, 14 : 24) 4. Kalimat taqwa juga ditemukan dalam arti Al-Qaul Al-Thaabit, sebagaimana firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu” (QS. Ibrahim, 14:27)Di dalam shahih Bukhari, dinyatakan oleh Al Bara Ibnu Azib tentang tafsir ayat ini bahwa Rasulallah bersabda : “Ketika seorang muslim ditanya dalam alam kubur, maka dia akan memberikan kesaksian bahwa tidak ada satupun yang layak untuk diibadahi kecuali Allah dan Muhammad sebagai utusannya” dan pernyataan ini adalah Qoul al thaabit “.Lanjutan surat Al-Fath, “ Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu akan memasuki masjidil haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkannya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus diatas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjadikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang soleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar “. (QS Al-Fath, 48:27-29)Dalam ayat ini, Allah lebih lanjut menjelaskan tentang status dan sifat dari para shahabat seperti dalam lafadz “ keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka …” kemudian Allah SWT menegaskan keunggulan dan keistimewaan dan ketulusan ibadah mereka dalam firman-Nya. “Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…”Dalam ayat tersebut Allah telah menjelaskan kepada kita tentang tingkat keimanan shahabat dan kebaikan-kebaikan perbuatan mereka serta membenarkan perbuatan mereka. Kebenaran dan kedudukan penting shahabat serta contoh-contohnya disebutkan tidak hanya dalam Al-Qur`an akan tetapi juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah dan berita dari orang-orang sebelum kita. “ "Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil… "Beberapa negara sebelum datangnya Rasulullah s""udah tahu tentang shahabat melalui kitab Injil mereka. Oleh karena itu, ketika Umar bin Khothob r.a. masuk ke kota Yerussalem, orang-orang Nasrani langsung menyerahkan kota tersebut ke tangan kaum Muslimin, walaupun tidak memberikan kunci Bait-Al- Maqdis kepada siapapun kecuali seseorang yang kemudian memberikan ramalan sesuai sebagaimana yang dirinci dalam kitab Injil mereka.“Seorang rasul telah diutus di penghujung waktu yang memiliki kemurahan hati, pemimpin mereka menuntun untanya ditemani pembantunya dan dia memakai potongan pada bajunya. Dia adalah manusia yang menegakkan kebenaran dan memperjuangkan kalimat tauhid, ia berjalan dengan kaki telanjang, akan tetapi memiliki kelapangan hati yang besar dan berbicara dengan pandangan mata yang tajam dan memiliki beberapa tanda, ia menangis pada saat sholat yang terlihat pada wajahnya dan ia berbicara dengan suara lantang dan berkata : kebenaran akan menang, ini hanya persoalan waktu, berikan kepadaku kunci !” Sesungguhnya ketika orang-orang Yerussalem melihat Umar bin Khothob dari kejauhan mereka menangis dan memberikan kepadanya kunci sebab pendeta mereka mengakuinya dan berkata bahwa, “Sesungguhnya dia itu adalah salah satu seorang yang disebutkan dalam kitab Injil mereka”. Kelanjutan Tentang dukungan yang Datang Dari Shahabat Kita telah diberitahukan beberapa keterangan tentang shahabat dimana Allah telah menyebutkan bahwa Rasulullah dengan shahabatnya adalah orang –orang yang beriman dan sebagian golongan orang–orang yang memperjuangkan kalimat taqwa. Kita sekarang akan diberitahu kejelasan hal tersebut dalam firman Allah yang secara langsung yang menjadikan kita terikat untuk mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat dan jalan mereka yang mengikutinya. Allah SWT berfirman :” Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-Nya. Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya,(mereka mengatakan)“kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya dan mereka mengatakan “kami dengan taat” (mereka berdo’a) “Ampunilah kami ya tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali “. (QS Al-Baqarah, 2 : 285) Ayat ini menunjukkan akan keberadaan shahabat yang ada dalam keyakinan atau keimanan seperti dari Rasulullah sendiri. Oleh karena itu jika kita mengikuti keimanan shahabat maka kita akan memiliki keimanan yang seperti Rasulullah Muhammad SAW. “dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa yang lain selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS An Nisaa’ ,4:114-115) Ayat ini bermanifestasi bahwa Allah memerintahkan untuk mengikuti jalan dari para shahabat atau keutamaan yang dimiliki oleh shahabat, secara fakta siapa saja yang menentang Rasulullah sebagai rasulnya sendiri maka tindakan ini diserupakan kekufuran (seperti orang-orang yang tidak beriman). Jadi kita harus mengikuti perintah Allah yang keduanya berbentuk keimanan terhadap shahabat adalah sama dengan keimanan terhadap Rasulullah dan bagian kehidupan mereka ada dalam keimanan dan perbuatan-perbuatan mereka adalah juga bagian kehidupan Rasulullah. Dalam ayat Al Qur`an yang lain sering disebutkan tentang keistimewaan dari shahabat dan bentuk jamak atau kelompok, kedudukan mereka satu sama lain sebagai akibat dari prestasi keimanan yang telah mereka capai, sebagaimana firman Allah SWT : “ Orang–orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang –orang Muhajirin dan Anshor dan orang–orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. (QS. At Taubah,9:100). Dalam ayat ini, Allah SWT tidak hanya mengatakan tentang keridhoannya dengan golongan dari orang–orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam diantara orang Muhajirin dan Anshor tetapi Allah juga mengatakan akan keridhoannya dengan orang–orang yang mengikuti jalan mereka baik dalam keimanan mereka, perbuatan mereka dan metode mereka sebagai konsekuensi atas amal sholeh mereka maka Allah menjanjikan kepada 2 golongan tersebut (Golongan shahabat dan orang–orang yang mengikutinya) yaitu mereka akan mewarisi surga. Dalam ayat yang lain Allah SWT membuat keterangan-keterangan dengan menyebutkan shahabat sebagai golongan orang–orang yang memberikan baitul aqabah. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang–orang ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (QS. Fath, 48:18). Disini Allah memberi kesaksian atas apa yang ada dalam hati mereka (para shahabat) dan tujuan hidup mereka adalah kita atau dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari generasi pertengahan setelah generasi shahabat, mereka berbuat kebajikan semata-mata karena beberapa tuntutan seperti karena martabat atau jabatan dan bayaran, siapakah diantara generasi kita yang sudah dapat jaminan beraktivitas ibadah benar-benar murni karena Allah , bukan karena jaminan dan bayaran ? Apakah jika fakta mayoritas masyarakat sekarang tidak mengikuti jalan shahabat kita juga harus mengikutinya?Sayang sekali, pertanyaan ini adalah yang sering dan umum timbul ditengah-tengah masyarakat saat ini dimana masyarakat menilai kebenaran dengan jumlah banyak sedikitnya fakta yang ada. Jika banyak masyarakat mengikuti secara pasti ide, aqidah, atau manhaj (para shahabat) kemudian mereka mengalami kegagalan, maka akan dijadikan kebenaran terhadap diri seseorang yang mengambil suara mayoritas sebagai standar kebenaran. Berikutnya hal tersebut menjadikan orang–orang yang mengikuti manhaj yang benar sedikit jumlahnya terlepas dari apakah mereka memiliki bukti yang kuat atau tidak. Secara otomatis dalam pandangan masyarakat nilai kebenaran tersebut menjadi rendah. Prinsip suara mayoritas adalah benar merupakan suatu prinsip yang tidak Islami yang mana hal tersebut berasal dari keburukan konsep demokrasi dan akibat propaganda demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui media. Di dalam Islam konsep tersebut tidak diakui, labih lanjut Allah SWT menginformasikan kepada kita bahwa konsep tersebut harus dilawan atau diperangi seperti konsep standar kebenaran adalah suara mayoritas dan fakta yang bathil dan dusta belaka! Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang–orang yang dimuka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta kepada Allah “ (QS. Al An’am, 6:116). Ditambah lagi dalam firman Allah SWT : “Dan sebagian besar manusia tidak beriman walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf, 12:103). Di dalam Islam, kebenaran adalah kebenaran meskipun kamu hanya seorang saja atau sendirian, ada dalam jumlah yang kecil atau sedikit, sumber ini dikutip dalam kitabnya Imam Turmudzi vol. 4 p:467 dalam kitab Miskhat al masabih vol. 1 p:61 dan disumberkan dalam Al Imam al-Lailikai dalam bukunya Syarah Ushul Al-Itiqaad dalam 1 p:22 bahwa Abdullah ibn Mas’ud r.a. menceritakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jamaah (orang–orang yang mengikuti Rasulullah dan shahabat ) adalah orang–orang yang ada dalam kebenaran meskipun kamu hanya seorang diri saja.”Disampaikan dalam kitab Majmu’ Imam Nawawi, vol. 8 p:275 Imam Suyhuti dalam buku “Perintah untuk mengikuti dan larangan untuk mengikuti sesuatu yang benar”, p:152 dan Imam Saatibi dalam bukunya : “Da’a ila Sunnan”, vol 1 p:83 dalam riwayat dari Al Fudail bin Iyaadh bahwa Rasulullah bersabda:“Ikutilah jalan dari petunjukku meskipun sedikit orang yang mengikutinya dan hindarilah jalan dari kebinasaan dan penyimpangan (dari jalanku) meskipun banyak orang yang mengikutinya.” Diceritakan dalam kitab Imamul Aajiris, yaitu “Syari’ah” p.58 dan Khatib al Bagdadi dalam pendapatnya tentang imbalan atas orang–orang Ahlul Hadist ; p. 26 bahwa Imam Uza’i (juga dikenal sebagai Imam Shaafi’i yang kedua) berkata:“Ikutilah jalan orang–orang Salaf meskipun orang–orang mengejek kamu dan berhati-hatilah terhadap pendapat seseorang meskipun mereka mengagungkan pendapat-pendapat dengan mengatasnamakan mereka orang–orang Salaf melalui ucapan-ucapannya sendiri. Dan akan selalu menjadi orang–orang yang bergembira atau beruntung dan selamat ketika melakukan pembenaran terhadap jalan (orang –orang salaf.”. Shamsuddin Ibnu Qoyyim dalam “I’lam Al-Muwaqi’in”, vol. 3 p. 398 bercerita tentang Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkata:“Sadarlah bahwa Al-ijma’ (shahabat) dan perkataan-perkataan shahabat adalah sesuatu yang terikat atas landasan pengetahuan (Islam) yang barangsiapa mengikutinya berarti telah mengikuti kebenaran meskipun mereka hanya sendirian dan bahkan banyak seseorang yang selalu menunjukkan dan berjalan pada kebenaran maka kamu akan merasa bahwa tidak akan merasa sendiri. Akan tetapi kamu akan merasakaan rasa kekeluargaan dengannya dan tidak akan pernah hilang sesuatupun ketika kamu berteman dengannya.” Na’im Ibn Hamad Al-Ash’ari, salah seorang Sheikh dari Abu Hanifah (ra) berkata: “Jama’ah adalah apa-apa yang ada dalam kerangka keta’atan kepada Allah. Setiap orang akan menjadi fasiq tatkala mengikuti standar jama’ah yang berdiri di atas sesuatu yang menyimpang (dari keta’atan kepada Allah). Meskipun kamu hanya seorang maka ikutilah jama’ah yang sesuai dengan kerangka keta’atan pada Allah .”
No comments:
Post a Comment