06 November 2007

Riba dalam Perspektif Agama dan Sejarah

Riba dalam Perspektif Agama dan Sejarah

M. Syafii Antonio, MSc

I. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah I mengingatkan dalam firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil." (Q.S. An Nisa: 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al Qur'an, menjelaskan:
"Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur'ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah."

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.

Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orangPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0 tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:

1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:
"Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel."
2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
"Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut."
3. Raghib Al Asfahani :
"Riba adalah penambahan atas harta pokok"
4. Imam An Nawawi dari mazhab Syafi'i:
"Riba adalah penambahan atas pinjaman seiring bertambahnya waktu"
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al Qur'an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah:
"Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan."
6. Zaid bin Aslam:
"Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah yang berimplikasi pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: 'bayar sekarang atau tambah.'"
7. Mujahid
"Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar) si pembeli memberikan 'tambahan' atas tambahan waktu."
8. Ja'far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:
Ja'far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan riba - "Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma'ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia."
9. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali
"Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas pe-nambahan waktu yang diberikan."

II. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi'ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi'ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami:
"Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma' berdasarkan nash al Qur'an dan hadits Nabi."

III. Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitan dengan perbankan syariah implikasi ketentuan tukar-menukar antarbarang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jual-beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserah-kan ketika tukar-menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual-beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserah-kan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

IV. Konsep Riba dalam Perspektif Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius per-soalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Maka, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif dari kalangan non-Muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan non-Muslim tersebut perlu pula dikaji.

Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Islam juga mengakui kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena kaum Yahudi dikaruniai Allah I kitab Taurat sedangkan kaum Kristen dikaruniai kitab Injil.
Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan riba.

1.Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undangTalmud. Kitab Exodus (Keluaran ) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
"Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya."
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan."
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba."

2. Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman biasa (6 % - 18%)
Pinjaman properti (6 % - 12 %)
Pinjaman antarkota (7% - 12%)
Pinjaman perdagangan dan industri (12% - 18%)
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan ¡¥tingkat maksimal yang dibenarkan hukum' (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
Bunga maksimal yang dibenarkan (8 - 12%)
Bunga pinjaman biasa di Roma (4 - 12%)
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 - 100%)
Bunga khusus Byzantium (4 - 12 %)
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 - 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 - 149 SM) dan Cicero (106 - 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan peng-ambilan bunga.

Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan.
Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk meng-hasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.

Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman.
i. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
ii. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi mengang-gap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.

3. Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
"Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya ber-bagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen meng-halalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.

Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut :
Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
Dosa apabila bunga memberatkan.
Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang seder-hana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

V.Larangan Riba dalam Al Qur'an dan As Sunnah
Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur'an dan hadits Rasulullah.
1.Larangan Riba dalam Al Qur'an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur'an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)." (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah I mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Ali Imran: 130).

Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan "Alasan Pem-benaran Pengambilan Riba", point "Berlipat-Ganda").
Tahap terakhir, Allah I dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (Q.S. Al Baqarah: 278-279)

Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
"Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah e bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah - seperti sediakala - tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan
turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab 'jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.'"

2. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur'an melainkan juga Al Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah e masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. "Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan."

Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, "Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, me-nerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar." (H.R. Bukhari no. 2084 kitab Al Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah e dan beliau bertanya kepadanya, "Dari mana engkau mendapatkannya " Bilal menjawab, "Saya mem-punyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha' untuk satu sha' kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah e", selepas itu Rasulullah e terus berkata, "Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu." (H.R. Bukhari no. 2145, kitab Al Wakalah)

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, "Rasulullah e melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita." (H.R. Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu).
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah." (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)

Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah e bersabda, "Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, 'Siapakah itu ' Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.' " (H.R. Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)

Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama." (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, "Pada malam perjalanan mi'raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.
"Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya."
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya."

VI. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang "wajar" dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.

Pembahasan :
1. Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara' (Allah dan rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa "darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian."
Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan

"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang." (Q.S. Al Baqarah: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, ter-utama penerapan al qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah
"Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya."
Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.

2. Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan . Pendapat ini berasal dari pe-mahaman yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan."
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan

Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti "kelipatan". Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3x2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah ta'kid untuk penguatan.
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.

Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan
"Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan rasul-Nya)."

DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).

Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali Imran 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu. Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik - jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah {32} "Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." "Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah." Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina
sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal

Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan, badie, dan maa'nie.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupa-kan "ayat sapu jagat" untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.

3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada "badan hukum" sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan da-pat melakukan mudharat jauh lebih besar dari per seorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, meng-ekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf.
Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan fi'il mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi, negara, bahkan global.

VII. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produk-tif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

VIII. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

IX. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
SISTEM BUNGA STESAAMS
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung a.Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan un-tung rugi
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming". d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. e. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

X. Berbagai Fatwa tentang Riba
Hampir semua majlis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah mem-bahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa¡¦il Nahdlatul Ulama.

Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
i. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur¡¦an dan As Sunnah.
ii. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
iii. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
iv. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).

Majlis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) :
i. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majlis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
ii. Mendesak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.

Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas dalam Muktamar Majlis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi simpan-pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan termasuk riba.

Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan yakni, bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba. Namun, dalam pelaksanaannya, perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.

2. Lajnah Bahsul Masa'il Nahdhatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutus-kan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini :
i. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
ii. Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
iii. Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
Keputusan Lajnah Bahsul Masa¡¦il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain :
i. Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :
Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram.
Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sistem per-bankan yang islami atau tanpa bunga belum ber-operasi.
Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram.
Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.

ii. Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Maka, Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini segera diperbaiki.
Perlu diatur :
1) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:
i) Al wadi¡¦ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta titipan dari pihak ketiga atau lembaga keuangan lain yang menganut sis-tem yang sama.
ii) Al mudharabah, dalam prakteknya konsep ini disebut sebagai investment account atau lazim disebut sebagai deposito berjangka dengan jangka waktu yang berlaku, misal-nya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:
- General Investment Account (GIA).
- Special Investment Account (SIA).
2) Penanaman dana dan kegiatan usaha:
i) Pada dasarnya terbagi atas tiga jenis kegiatan, yaitu pembiayaan proyek, pembiayaan usaha perdagangan atau perkongsian, dan pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit and loss sharing, dan sebagainya.
ii) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat digunakan antara lain mudharabah, muqaradhah, musyarakah/syirkah, muraba-hah, pemberian kredit dengan service charge (bukan bunga), ijarah, bai¡¦uddain, termasuk di dalamnya bai¡¦ as salam, al qardhul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service charge), dan bai¡¦ bitsaman aajil.
iii) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan. Untuk mengaplikasikannya, bank dapat menggunakan konsep wakalah, musyarakah, murabahah, ijarah, sewa-beli, bai' as salam, bai' al aajil, kafalah (garansi bank), working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
iv) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti pengiriman dan transfer uang, jual-beli mata uang atau valuta, dan penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan dengan prinsip tanpa bunga.
3) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syariah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah muamalah Islam.
4) Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu :
i. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
ii. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4.Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.

Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut mengutarakan langsung kepada penulis pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang, Jakarta selatan, bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia Islam. Yang menarik, menurut beliau, bahwa para bankir dan ekonom justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek pembunga-an uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan alternatif.

6. Fatwa lembaga-lembaga lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain
i. (Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia)
ii. (Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia)

Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembaga-lembaga dunia di atas diambil pada saat bank Islam dan lembaga keuangan syariah belum berkembang seperti saat ini. Atau dengan kata lain, para ulama dunia tersebut sudah berani menetapkan hukum dengan tegas sekalipun pilihan-pilihan alternatif belum tersedia. Alangkah malunya kita di mata Allah I dan Rasulullah e ketika saat ini sudah berdiri 2 bank syariah secara penuh (Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri), 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, Reksa Dana Syariah dan ribuan Baitul Maal wat Tamwil (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) kita masih belum mem-buka hati untuk ¡§bertanggung jawab¡¨ terhadap ajaran agama kita.

XI. Dampak Negatif Riba
1. Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.

2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.***

sumber: www.tazkia.com

20 September 2007

Awas! Kartu Kredit Menjebak Kita

Awas! Kartu Kredit Menjebak Kita
Ditulis oleh Junarto di/pada Juni 23rd, 2007

“Saya mengajukan permintaan kartu kredit,” kata seorang rekan kerja yang baru lulus universitas, “tapi ditolak.”

“Wah, saya malah selalu ditawari bank kartu kredit,” kata seorang rekan yang lebih senior. “Kartu kredit saya emas….”

Saya menangkap ada perasaan bangga pada nada ucapannya. Mungkin buatnya kartu kredit emas menunjukkan simbol keberhasilan pencapaian karirnya, atau pengakuan resmi atas keberadaan dirinya. Gengsi, istilah popularnya.


Saya ingat, dulu saya pernah dihubungi seorang wanita petugas bank. “Selamat,” katanya. “Anda terpilih mendapatkan kenaikan pagu. Kartu perak Anda kami tingkatkan menjadi emas.”

Alih-alih mengucapkan ‘terima kasih atas kepercayaan bank kepada saya,’ saya menukas dengan tegas, “Saya tidak tertarik. Justru sebaliknya, saya ingin penurunan pagu.”

Jawaban yang mengagetkannya, tentu saja.

Kali lain petugas itu menelepon saya lagi. Tapi saya tolak. Kamis pekan lalu, saya akhirnya menghubungi layanan pelanggan, dan benar-benar menuntut penurunan batas kartu kredit saya.

Sudah tujuh tahun saya memegang kartu utang, tapi jarang saya menggunakannya lebih dari 25 peratus pagu. Lebih sering di bawah itu. Saya tahu, dengan kotak tipis bermagnet ini, bank mendorong kita bertindak konsumtif: gesek, gesek, dan gesek. Cicil, cicil, dan cicil. Bunga, bunga, dan bunga! Tiba-tiba saja kita terperangkap dalam utang yang lebih besar daripada penghasilan kita, sedangkan bank sendiri diuntungkan dari bunga tunggakan yang terus berbunga.


Bank mengatakan, saya nasabah yang baik, terpilih, tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan ini, bla-bla-bla…. Omong kosong. Ada udang di balik batu. Yang gampang saja, jika saya terima tawaran itu, saya harus membayar iuran tahunan lebih mahal. Artinya, saya mengeluarkan kocek untuk sesuatu yang tidak perlu, yang tidak sesuai dengan pola belanja saya.

Saya akui, ketika baru lulus perguruan tinggi saya ingin memperoleh kemudahan, gengsi, dan prestise sebuah kartu kredit sebagaimana yang telah saya lihat sekilas pada kakak saya yang mapan. Pada pertengahan tahun 2000, bekerja pada sebuah anak perusahaan manufaktur otomotif, saya yang percaya diri sempat kecewa ketika permohonan saya ditolak sebPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0uah “bank kota” tanpa alasan apapun.

Namun, ketika saya berada di sebuah pusat belanja swalayan dan hendak pulang, seorang pramuniaga dari bank yang lain mencegat dan membujuk saya, “Mas, ayo dong isi formulir aplikasi kartu kredit.”

Saya senang saja, karena waktu itu saya memang lagi kepingin.

“Apa gaji Mas sudah lewat dua juta?”

Dia kegirangan ketika saya mengiyakan.

Dengan proses yang sederhana, jadilah saya memiliki kartu kredit untuk kali pertama. Wah, bangga benar rasanya. Saya memuji-muji diri saya dalam hati. Saya eksekutif muda nih, punya kartu kredit….


Sebelumnya saya terbiasa menggunakan kartu debet. Tapi, setelah itu, saya bereksperimen mencoba bertransaksi dengan ‘mainan baru.’

Satu bulan kemudian, tagihan pertama datang. Saya coba tidak membayar penuh. Ternyata, bulan berikutnya tagihan melonjak. Saya baru sadar kalau perhitungan bunga dimulai pada saat saya melakukan transaksi, bukan pada saat jatuh tempo. Dengan begitu, bulan ketiga, saya harus membayar bunga berbunga untuk dua bulan!

Saya baru mafhum, inilah perangkap bunga berbunga. Lantas saya putuskan membayar penuh dengan asumsi tunggakan segera lunas. Namun, pada bulan ke-4, masih muncul tagihan yang mengharuskan saya membayar Rp30.000 lagi. Baiklah, saya ikuti saja. Sesudah itu beres, pikir saya. Sialnya, pada bulan berikutnya di lembar tagihan tercetak biaya administrasi Rp8000! Ini pemerasan, meskipun kecil jumlahnya. Saya bertanya-tanya, bagaimana dengan orang yang tagihannya jauh lebih besar ketimbang saya?

Sejak saat itu saya memutuskan selalu membayar penuh. Tapi, lima tahun kemudian, kartu kredit ini saya tutup, dan saya ganti dengan kartu kredit bank lain yang menawarkan kemudahan cicilan tetap.

Pindah kerja, saya sekantor dengan kawan lama. Dia pengguna setia kartu kredit. Pengeluaran bulanan untuk anak istrinya, yang kadang melebihi pendapatannya, ia cukupi dengan kartu kredit. Setiap bulan dia mencicil batas terkecil, tapi tentu saja, saldo tagihannya tidak lunas-lunas juga, lantaran bunga berbunganya kira-kira setara dengan pembayaran minimalnya!

Sebulan lalu, seorang sahabat yang lain, dikejar-kejar pemungut utang lantaran menunggak pembayaran hingga empat bulan. Dia taksanggup melunasinya karena tiba-tiba saja bangkrut. Bahkan, dia tidak lagi mencicil meskipun dengan nilai terkecil. Bank menagihnya dengan segala cara, mulai makian sampai ancaman fisik. Tukang pukul datang ke rumahnya, menerornya dan keluarganya. Perlakuan bank kepadanya sungguh biadab, sangat berbeda dengan saat ketika dengan ramah-tamah mereka menawarkan kartu plastik ini kali pertama. Saldo utangnya yang x rupiah, melonjak menjadi 1,5x rupiah dalam empat bulan! Pantas saja semua bank agresif menawarkan kartu kredit kepada khalayak. Pendapatan bunganya gila-gilaan. Inilah konsep riba yang dalam Islam diharamkan.

* * *

Selain godaan pola hidup boros, membawa kartu kredit ke mana-mana sangat berisiko. Pagu kartu kredit mewakili seberapa besar risiko yang harus kita tanggung. Bohong, jika bank mengatakan kartu kredit “tidak serawan membawa uang tunai.” Sebab, andai ia hilang, dicuri, atau jatuh, orang yang menemukannya bisa saja memanfaatkannya dengan mudah. Tanda tangan? Gampang dipalsukan. Apalagi, pengalaman saya, di gerai-gerai penerima kartu kredit, kasir tidak terlalu sungguh-sungguh memastikan keaslian tanda tangan pada struk. Itulah sebab, di surat pembaca koran, kita sering mendengar keluh-kesah nasabah yang tidak merasa melakukan transaksi tertentu, tapi bank tetap membebankan tagihan kepada mereka, padahal tanda tangan pada struk itu jelas berbeda dengan yang tertera di kartu. Sintingnya, jika nasabah menolak, mekanisme bunga-berbunga terus bekerja, sedangkan pemungut utang yang ganas sudah menanti mereka! Bank hanya memikirkan hak-hak mereka. Setiap penyangkalan transaksi membutuhkan prosedur yang panjang, memakan waktu dan uang nasabah. Lupakan keramah-tamahan mereka. Di balik senyum ramah, mereka serigala berbulu domba.

Akan tetapi, tentu saja, kalau kita bisa mengelolanya secara hati-hati, kartu kredit bisa berguna, paling tidak sebagai alat pembayaran. Bila Anda ingin memilikinya, usahakan pagu Anda wajar. Biasanya bank memberikan pagu lebih besar daripada gaji kita. Nilainya bisa empat kalinya. Saya menganjurkan Anda mengajukan pagu setengah, atau sepertiga gaji, sehingga jika Anda mengalami masalah dengan kartu kredit dalam bentuk apapun, Anda dengan mudah mampu mengatasinya.

Mengapa bank memberikan pagu berkali-kali gaji kita, bukan sebaliknya? Di sinilah letak perangkapnya. Dengan umpan pagu yang tinggi, bank ingin kita merasa ‘lebih kaya,’ seolah kita mempunyai ‘lebih banyak uang,’ mampu membeli apa saja tanpa keterbatasan penghasilan. Dengan begitu, kita terbiasa dengan konsumsi tinggi dan ujung-ujungnya terjebak utang. Jika sudah terperangkap, harta benda kita yang nilainya lebih besar daripada utang kita, dirampas bank dengan paksa. Tentu saja, bank tidak bodoh, karena ketika mereka menyetujui permohonan kita, mereka sudah berhitung, berapa besar resiko dan keseluruhan harta-benda kita yang bisa menanggungnya.

Banyak orang membangga-banggakan pagu kredit yang tinggi. Saya tekankan, itu hanyalah kebanggaan semu. Yang bank inginkan, gaji kita berpindah ke brankas mereka melalui cicilan konsumtif kita setiap awal bulan, bahkan sebelum kita sempat menganggarkannya untuk kebutuhan keluarga, kita sudah dikirimi lembar tagihan. “Setiap bulan,” keluh seorang teman, “gajiku habis hanya untuk melunasi tagihan.”

Pendek kata, penggunaan kartu kredit pada dasarnya menambah pengeluaran Anda. Oleh sebab itu, untuk alat pembayaran, saya menyarankan kartu debet. Sebaiknya Anda punya dua rekening bank. Yang pertama untuk tabungan yang takkan diganggu gugat kecuali mendesak. Yang kedua rekening dengan akses kartu debet untuk kebutuhan sehari-hari dan transaksi pembayaran, yang nominalnya dianggarkan setiap bulan. Jadi, ketika Anda tergoda barang-barang konsumtif tapi takpunya uang, Anda takkan memaksakan diri, apalagi jatuh dalam perangkap kartu kredit.

Di Balik Tayangan Infotainment

Di Balik Tayangan Infotainment
Ditulis oleh Junarto di/pada Juli 8th, 2007
“Ceche Kirani menggelar jumpa pers tanpa dihadiri suaminya. Mungkin suaminya tak bisa menyertai Ceche Kirani karena mengumpulkan tenaga untuk nanti malam…..”
“Pemirsa, kami berhasil mengintip lebih jauh soal isu keretakan rumah tangga artis X. Awalnya X yang sering tampil seksi ini mengelak ketika kami konfirmasi. Tapi wartawan kami berhasil mengawasi rumah mereka selama sehari semalam dan terbukti suami X tidak pulang. Ini semakin meyakinkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis. Apalagi gosipnya ada orang ketiga… bla bla bla….”
Begitulah gaya wartapelipur (infotainment) menciptakan sensasi untuk memancing perhatian penonton. Mengacaukan fakta dengan gosip dan prasangka. Banyak stereotip, mitos, dan penilaian yang terburu-buru.

Tidak jarang sebuah peristiwa yang sesungguhnya banal, remeh, biasa saja, dipaksa diangkat menjadi sebuah tayangan, yang tidak matang untuk bisa disebut sebuah karya jurnalistik. Para pekerja wartapelipur cenderung bekerja atas dasar desas-desus, atau fakta yang kemudian dibumbu-bumbui (h.48).
Wartapelipur adalah sebuah konsep mengemas informasi serius dalam bentuk yang menghibur. Tapi, di Indonesia, wartapelipur bermakna informasi tentang dunia hiburan dan gemerlap gaya hidup para pesohor (h.28). Ia menjadikan artis dan kehidupan artis sebagai komditas. Bagaimana warga ‘khusus’ ini menjalani kehidupan wajar mereka menjadi sesuatu yang luar biasa. Artis melahirkan, ulang tahun, menikah, bulan madu, umrah atau haji, pacaran, putus, cerai, atau rujuk, ataupun bagaimana mereka mengajak anak-anak mereka menjalani liburan sekolah, menjadi hal yang penting.
Acara wartapelipur dalam satu hari dimunculkan selama 13 jam, atau lebih dari setengah hari (h.7). Dalam kurun 2002 hingga 2005 jumlah program wartapelipur di TV swasta meningkat dari 24 episode per minggu (3 espisode per hari) menjadi 180 episode per minggu atau 26 episode per hari (h.7). Ini menunjukkan bahwa acara wartapelipur bagi stasiun televisi sangat menguntungkan. Wartapelipur mampu mendapatkan penonton meskipun acara ini ditaruh pada jam-jam mati (pukul 7, 9, 15, dan 16). Sampai-sampai pemrogram melakukan strategi tayang ulang pada jam lain pada hari yang sama. Atau, mereka memperpanjang durasi acara dari 30 menjadi 60 menit (h.86). Namun, peringkat acara ini tetap bersaing (h.106). Perbandingan keuntungan acara waPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0rtapelipur memang tinggi. Harga beli satu episode wartapelipur dari rumah produksi berkisar antara Rp15 sampai 60 juta sedangkan pendapatan bersih dari penjualan ruang iklan per episode bisa mencapai Rp35 juta (h.95).
Ilham Bintang adalah contoh jaya seorang pengusaha wartapelipur. Ketika mendirikan rumah produksi pada tahun 1997, dia dan empat orang kawannya mengumpulkan modal Rp1 miliar. Dalam setahun, Ilham membeli semua saham yang ditanam teman-temannya tadi. Bisnis yang dia kerjakan ini bahkan mampu mengatasi krisis ekonomi pada akhir 1990-an (h.104).
Cara kerja awak wartapelipur sebenarnya mirip dengan wartawan layar kaca. Ada rapat perencanaan, dan peliputan ‘berita.’ Paling lancar bila ‘berita’ datang dengan sendirinya. Misalnya para artis yang mengundang awak wartapelipur meliput kegiatan mereka. Atau, para artis dengan suka rela bersedia diwawancarai ataupun menerima janji wawancara. Para artis sering melakukan ini untuk mendapatkan publikasi, demi popularitas mereka sendiri.
Yang sukar jika mereka menolak diwawancarai. Biasanya awak wartapelipur mengejar-ngejar artis dengan paksa dan menerabas batas pribadi mereka. Nicky Astria, misalnya, pernah didesak menjawab pertanyaan dengan sodoran mikropon yang menahan kaca jendela mobilnya (h.122). Atau tidak jarang, awak wartapelipur terlalu gampang meledakkan gosip yang faktualitasnya belum teruji. Desas-desus tentang perceraian Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale, sebagai contoh, sampai membimbit Kabar Idola yang dibuat rumah produksi Sandhika Widya Cinema ke meja hijau (h.132).
Pembelaan diri Kabar Idola dalam episode berikutnya adalah bahwa “persoalan telah diselesaikan secara kekeluargaan.” Wartapelipur ini justru mempersalahkan sumber berita yang dikutipnya sendiri kalau gosip itu tidak benar. Yang benar dalam versi wartapelipur, mereka menurunkan “materi tayangan yang tidak lengkap,” (h.132). Mereka juga berapologi, kesalahan itu “manusiawi” karena wartawan mereka “masih muda-muda dan membutuhkan arahan bimbingan dari artis senior dan organisasi kewartawanan.”
Tidak jarang desas-desus dikembangkan dengan mewawancara paranormal tentang apa yang tengah terjadi ataupun yang bakal terjadi. Mama Lauren, umpamanya, adalah peramal yang biasa muncul di layar televisi pada akhir tahun, sedangkan Ki Joko Bodo pernah dengan yakin menjelaskan peristiwa pernikahan seorang artis, bahwa itu, katanya, dilakukan demi karir si pesohor (h.140-141).
Persoalan-persoalan tersebut menunjukkan betapa sering para awak wartapelipur melakukan kegiatan yang dalam konsep jurnalistik tidak etis dan menggampangkan prosedur profesi. Seorang wartawan, misalnya, pantang memaksakan kehendak jika narasumber takbersedia menjawab.
Selain itu, tak peduli berapa pun usia seorang wartawan, faktualitas berita bergantung kepada prosedur jurnalistik yang panjang, yang menekankan kebenaran dan ketepatan sebuah berita. Bukan langkah-langkah mengangkat gosip serampangan.
Fatalnya, para awak wartapelipur sering mengelompokkan artis kedalam definisi kata ‘figur publik,’ untuk memberi para artis legitimasi buat mengomentari masalah-masalah sosial politik terkini. Padahal, artis bukan pihak yang bisa menentukan atau mengambil kebijakan publik.
Tapi, dengan ilmu sosial dan pengetahuan jurnalistik yang terbatas, para awak wartapelipur merasa sedeajat dengan wartawan profesional dan bersikeras ingin diaku menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Padahal, jika hendak mendapatkan pengakuan lebih daripada sekadar secarik kertas, banyak hal yang harus mereka benahi, umpamanya, meningkatkan kapasitas profesionalitas dan pengetahuan jurnalistik.
Buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang dunia wartapelipur. Di antaranya bagaimana konteks historisnya, mengapa ia mendominasi tayangan televisi kita akhir-akhir ini, bagaimana proses produksi di balik layar, bagaimana kandungannya sendiri, dan bagaimana persoalan-persoalan etis menyertainya. Ia memang tidak menawarkan pemecahan akademis, tapi penuturan yang deskriptif dan naratif menjadikannya layak dijadikan bahan bacaan bagi pemerhati masalah media massa.
Judul Buku: Infotainment; Penulis: Bimo Nugroho, Teguh Imawan, dan kawan-kawan; Pengantar: Ade Armando; Tebal: viii + 179; Penerbit : Komisi Penyiaran Indonesia; Tahun: 2005

Matikan TV Kita!

Matikan TV Kita!
Ditulis oleh Junarto di/pada September 8th, 2007
“Jangan tonton acaranya dong kalau nggak suka,” kata seorang pengurus Asosiasi Jurnalis Televisi Seluruh Indonesia (AJTSI) dalam sebuah seminar menanggapi kritik para peserta atas tayangan televisi yang kebanyakan dibuat asal-asalan dan mengekspoitasi selera rendah manusia.
Dia berargumen, jika masyarakat tidak menonton, rating acara yang bermasalah itu akan turun, sehingga acara itu pun dihentikan karena tidak ada agen iklan yang bersedia memasang siaran niaga pada jam acara tersebut. Kenyataannya, menurutnya, rating acara-acara yang bermasalah itu justru tinggi, jadi tidak ada alasan bagi televisi menghentikan penayangan mereka.
Itulah gambaran nalar para pelaku awak televisi kita yang dengan gampang mempertuhankan rating, sehingga terciptalah cara pandang yang simplistis ini: tayangan menciptakan rating dan sebaliknya rating pun menentukan tayangan. Dengan cara pandang seperti ini, mereka mengabaikan aspek-aspek lain di luar logika komodifikasi tayangan semisal dampak visualisasi rekaan televisi terhadap proses pembelajaran sosial.
Pemahaman yang menyederhanakan itu memperlihatkan betapa rendah kualitas para awak televisi, sekaligus merefleksikan jejak sejarah industri televisi di tanah air. Menurut Sunardian, industri televisi lahir dengan latar belakang yang berbeda dengan surat kabar dan radio. Surat kabar yang berkembang pada awal abad ke-20, umpamanya, membawa semangat penyadaran untuk menentang kolonialisme. Begitu pula radio pada era 1940-an tumbuh dengan misi perjuangan. Akan tetapi, televisi swasta pada akhir dekade 1980-an lahir karena ‘kecelakaan.’ Ia dipaksakan ada tanpa perencanaan matang, sekedar memenuhi ambisi kroni-kroni penguasa pada saat itu.
Pendirian RCTI, misalnya, berkaitan dengan distribusi kemakmuran yang timpang. Tujuh puluh peratus kapital nasional menumpuk di Jakarta dan dikuasai oleh Keluarga Cendana dan kawan-kawan mereka. Penumpukan modal yang besar itu membuat mimpi untuk membangun sebuah stasiun televisi swasta yang membutuhkan ratusan miliar rupiah mungkin diwujudkan. Begitu pula kemunculan stasiun-stasiun televisi berikutnya-seperti TPI, SCTV, Indosiar-cenderung disebabkan oleh faktor Keluarga Cendana, dan pada dasarnya taklayak disebut sebagai industri televisi lantaran tidak didukung infrastruktur yang memadai. Tiada sumber daya manusia yang menguasai penyiaran. Tidak ada juga regulasi tentang penyiaran. Regulasi baru dibuat kemudian sekedar mengesahkan perilaku Keluarga Cendana. Boleh dibilang, industri televisi di tanah air dibangun dengan pelbagai ketidaksiapan (h.8-9).
Maka, stasiun televisi bertumbuh tanpa visi, juga tanpa nalar yang tepat. Secara sempit ia sekedar diarahkan sebagai mesin pencetak uang. Dalam situasi serba tidak siap inilah televisi-televisi swasta menciptakan, dan menyebarkan sebuah budaya tunggal yang dominan dan meminggirkan budaya-budaya lain Nusantara yang sesungguhnya beraneka dan mewujud. Sebelas stasiun televisi Jakarta mencekoki mata-telinga sembilan puluh persen penduduk Indonesia yang heterogen dengan tayangan-tayangan Jakarta sentris. Mulai berita, warta hiburan, sinetron, permainan, musik, dan panggung hiburan, semua mencerminkan masyarakat kota dengan gaya hidup mereka.
Satria Naradha, seorang pendiri Bali TV, (Media Watch, 38/2005) sampai-sampai merasa gusar lantaran muda-mudi Bali kini terbiasa mengucapkan kata-kata yang kejakarta-jakartaan. Selain itu, kata Naradha, masyarakat daerah lebih akrab dengan sinetron Raam Pundjabi ketimbang lakon-lakon daerah. Pendek kata, daerah telah menjadi korban penuhanan rating oleh awak televisi Jakarta.
Tentu saja, penuhanan rating juga menurunkan kualitas tayangan karena kualitas dengan demikian harus dikalahkan. Para pekerja kreatif di belakangnya, umpamanya, menjadi ‘tukang ketik’ yang menulis tanpa perenungan ataupun pendalaman. Mereka sekedar memenuhi tuntutan produksi akan apa yang dipercaya dapat mengejar rating (h.77). Sebuah acara yang berating tinggi di sebuah stasiun televisi pasti akan ramai-ramai ditiru habis-habisan oleh stasiun-stasiun televisi yang lain.
Sesungguhnya awak televisi salah menafsirkan rating dengan menempatkannya sebagai ukuran (h.93). Padahal rating bukan kualitas (h.92) dan hanya melihat jumlah penonton tanpa memedulikan kesukaan (preferensi). Dengan kata lain, pemuja rating menafikan kemungkinan penonton menonton sebuah acara televisi karena itu kebiasaannya ataupun lantaran pilihan mereka pada dasarnya terbatas. Faktor inilah yang bisa menyebabkan rating menjadi tinggi dan mengelabui pemasang iklan maupun awak televisi.
Bahkan dalam wawancara saya dengan Direktur Penelitian A. C. Nielsen Irawati, terungkap bahwa pihaknya sama sekali tidak berpretensi membuat sebuah generalisasi bahwa keluaran rating menunjukkan kecenderungan perilaku menonton masyarakat secara nasional. Sebab, katanya, pegambilan sampel hanya dilakukan di sembilan kota di tanah air: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makasar, Palembang, Denpasar, Yogyakarta. Saya pun menemukan bahwa pengambilan sampel juga tidak menjangkau desa-desa yang dihuni delapan puluh peratus rakyat Indonesia. Kesembilan kota itu dipilih sebagai sampel untuk menuhi kebutuhan pengiklan dan produsen karena sebagian besar barang dan jasa beredar di kota-kota itu. Jadi, di sini jelas bahwa awak televisi tidak bersikap kritis terhadap metodologi rating A.C Nielsen. Boleh dibilang, mereka berusaha memenuhi selera penduduk sembilan kota yang minoritas, tapi justru mengorbankan mayoritas penduduk Indonesia.
Standar Ganda Awak Televisi
Setelah Suharto jatuh, pengusaha dan awak televisi memperoleh kebebasan penuh melakukan kegiatan mereka. Kejatuhan Suharto dijadikan sebagai alasan oleh pengusaha dan awak televisi swasta menolak Undang-undang No.24 tahun 1997 tentang perizinan dan kewajiban pancar-terus siaran-siaran TVRI. Akan tetapi, ketika Undang-undang No.32/2002 disahkan, mereka juga menolaknya dengan alasan undang-undang itu mengekang kebebasan dan mengembalikan otoritarianisme. Padahal, seharusnya, jika Undang-undang No.32 ditolak, yang berlaku adalah undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No.24/1997.
Undang-undang No.32/2002 secara adil mengatur hak-hak masyarakat mendapatkan informasi (h.110) dan memberi negara kewenangan tata kelola media siaran melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Namun, pada praktiknya ia belum bisa dijalankan karena belum ada peraturan pemerintahnya akibat ketidakikhlasan pemerintah memberi KPI kewenangan penuhnya. Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono yang melihat televisi strategis untuk kampanye pemerintah membuat tafsiran sendiri bahwa ‘negara’ yang dimaskud Undang-undang No.32 tahun 2002 adalah ‘pemerintah.’ Begitu juga penolakan para kapitalis media terhadap undang-undang ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan berkurangnya aktivitas akumulasi modal mereka. Perlawanan mereka terhadap keberadaan KPI dengan mengajukan uji materil Undang-undang Penyiaran menunjukkan egoisme, keangkuhan, dan ketidakpedulian terhadap kebaikan bersama.
Dalam situasi lawless ini gelombang kedua gelombang kedua stasun-stasiun televisi swasta lain muncul (Metro TV, Trans TV, Lativi, TV7, Global TV) (h.10). Mereka mengudara tanpa kendali sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka. Para awak televisi memikirkan kepentingan mereka semata, yaitu mencetak laba. Namun, mereka tak memedulikan dampak buruk akibat perilaku mereka yang semena-mena.
Dampak Buruk Televisi
Dalam ilmu komunikasi, studi tentang dampak menghasilkan simpulan yang berbeda-beda, mulai kuat, lemah, dan akhirnya moderat (Severin, 1997). Tapi Sunardian berpendapat acara-acara televisi yang mengabaikan norma mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap anak-anak, remaja. Sunardian mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua tahun yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses wiring-proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak-menjadi tidak sempurna (h.141). Sebab, bayi yang berada di depan televisi tidak mempunyai pengalaman empiris. Gambar-gambar televisi mengekspolitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi yang meloncat-loncat sehingga mengganggu konsentrasi mereka (h.142).
Adapun pada remaja, Sunardian meaykini bahwa tayangan-tayangan sinetron yang tipologis dan mengabaikan aspek sosiologis dan psikologis menyebabkan remaja tidak berkesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya dan melihat segala sesuatunya serba artifisial. Kehidupan nyata akan membuat mereka patah semangat dengan gampang kecewa (h.143). Sementara itu, kaum ibu bisa kehilangan jati diri karena diombang-ambing hasrat untuk mengkonsumsi dan memiliki( h.147). Meskipun begitu, tentu saja, semua hipotesis ini masih harus diujji dengan kajian mendalam.
Buku karya Sunadian ini benar-benar layak mendapatkan tahniah. Buku ini berhasil mengkritik fenomena pertelevisian di tanah air secara menyeluruh, mulai latar belakang kelahiran televisi di Indonesia, kandungan tayangan dan penyeragaman, konteks praktik produksi, konsep dan praktik rating, dampak, dan konteks politik-ekonomi. Meskipun tidak bisa dibilang ilmiah dalam arti menerapkan teori dan metodologi yang ketat, buku ini banyak menyuguhkan fakta aktual sehingga tetap layak dijadikan rujukan, terutama oleh peneliti atau pemantau media, ataupun praktisi media-agar wawasan mereka terbuka tentang konteks dunia kerja mereka. Para pengamat sosial dan mahasiswa komunikasi mungkin dapat memperoleh rujukan empiris tentang praktik industri televisi. Bahkan ibu-ibu rumah tangga bisa mendapat cakrawala baru akan pentingnya melindungi keluarga dari pengaruh buruk televisi, misalnya dengan jalan sederhana: mematikan televisi.
Judul Buku: Matikan TV-MU!; Penulis: Sunardian Wirodoni; Tebal: 177 halaman + xix; Penerbit: Resist Book, Tahun: 2005

17 September 2007

Kelola Energi Anda!

Kelola Energi Anda!

"Energilah faktor utama tingginya kinerja, bukan waktu"
(Jim Loehr & Tony Schwartz, penulis "The Power of Full Engagement")

Saya sering menjumpai orang yang merasa bangga sekaligus memelas
terkait dengan ketergantungannya pada jam kerja yang berlebihan.

Orang ini tampaknya bermasalah dengan waktu, tapi lebih-lebih
sebenarnya mereka punya masalah dengan energinya.

Dari mereka, ada yang berkomentar, "Waduh, kalau tidak ngelembur,
pasti pekerjaan saya tidak bakal beres." Komentar kain, "Namanya juga
kerja di perusahaan kami, kalau enggak lembur, rasanya belum jadi
karyawan yang sesungguhnya" atau " Kalau enggak pukul sembilan malam,
belum bisa pulang. Kadang Sabtu dan Minggu juga masuk kantor."

Memang, tidak ada yang mampu menghentikan waktu. Sementara itu,
banyak orang yang terobsesi dengan waktu sebagai tolok ukur
produktivitas. Seolah-olah orang yang sudah menghabiskan banyak
waktu, dengan sendirinya dinilai sebagai orang produktif.

Inilah salah kaprah yang banyak terjadi dalam konteks 'bekerja'
sekarang. Orang berlomba-lomba mengelola waktu. Padahal, yang
sebenarnya fundamental adalah mengelola energi untuk bekerja.

Ada kisah menarik. Seorang manajer perempuan terbiasa bekerja hingga
larut malam. Biasanya, dia baru hengkang dari kantor pukul sembilan
atau 10 malam. Bisa jadi, dia adalah orang yang gila kerja
(workalholic) . Kebiasaan ini dia bawa sampai ketika menikah.

Suaminya pun sempat melayangkan ultimatum. "Kamu pilih kerja atau
keluargamu? Kalau kamu tetap pulang selarut itu, lebih baik kamu
berhenti bekerja! Toh penghasilan saya bisa lebih dari cukup buat
menghidupi kamu. Saya ijinkan kamu bekerja maksimal sampai pukul enam
sore. Sadarlah, keluarga kamu membutuhkanmu, " keluh suaminya.

Perempuan karir itu pun akhirnya mendengarkan opini suaminya.

Akhirnya, dia mengaku, sejak mendapat ultimatum itu dia berusaha
menata dan mengatur lagi energinya dalam bekerja. Dia merasa tidak
lagi membuang-buang energi untuk suatu yang sia-sia.

Dia bercerita, sudah hampir 1,5 tahun bisa pulang ke rumah on time!
Malah, bisa pulang dan menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul enam
sore. Dia pun merasa punya banyak waktu buat keluarga. Mereka pun
bahagia.

Nah, dalam mengelola energi,POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0 prinsipnya bukan berapa banyak waktu
yang dihabiskan. Tetapi, berapa banyak energi yang dicurahkan dalam
mengerjakan sesuatu pekerjaan. Jadi, seorang yang bekerja dua jam
saja tetapi dengan energi 100%. Itu sama efektifnya dengan mereka
yang bekerja empat jam, tetapi hanya mempunyai energi 50%.

Artinya, lamanya waktu bekerja tidak selalu berbanding lurus dengan
produktivitas kerja. Waktu lama tidak identik dengan kerja produktif.

Karena itu, tantangannya adalah bagaimana dengan waktu terbatas,
orang mampu mengerjakan banyak hal sesuai target dan dikerjakan
dengan sebaik mungkin. Pada titik inilah, manajemen energi menjadi
penting. Orang mampu bekerja baik jika mempunyai energi yang
berlimpah. Bekerja dengan total energi, itulah kuncinya.

3 Tip penting
Ada tiga tip penting untuk mengelola energi ini. Hal ini
diinspirasikan dari jawaban atas pertanyaan yang banyak muncul dalam
workshop Kecerdasan Emosional yang saya fasilitasi. Yakni, pertama,
menghindari banyaknya kebocoran emosi. Kebocoran emosi terjadi bila
hati kita tinggal separuh saat mengerjakan tugas. Kita bekerja dengan
setengah hati. Inilah yang terjadi saat tubuh beraktivitas, tetapi
pikiran dan hati kita melayang ke tempat lain.

Akibatnya, kita tidak bisa fokus bekerja. Pekerjaan yang dikerjakan
dengan semangat setengah-setengah juga akan menghasilkan buah yang
setengah-setengah juga. Banyak eksekutif sukses karena kemampuan
mereka mengatasi kebocoran emosi ini. Mereka bekerja dengan hati,
pikiran, dan raga yang total 'hadir' berada di tempat dia bekerja.

Dalam pepatah Latin disebut Age Quod Agis, bekerja dengan totalitas
penuh!

Kedua, kemampuan untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Sifat menunda-
nunda pekerjaan (procrastination) merupakan kebiasaan yang bisa
menghabiskan banyak energi kerja kita.

Setelah ditunda, justru pekerjaan akan semakin susah diselesaikan.
Pekerjaan lain menyusul dan akhirnya menumpuk. Bahkan, orang yang
cenderung menunda pekerjaan justru akhirnya tidak mengerjakan apa-
apa.

Dalam bukunya Eat the Frog, Brian Trcay menyarankan justru pekerjaan
yang sulit (diibaratkan seperti katak paling besar dan jelek) yang
harus ditangani dulu, sehingga pekerjaan yang sulit menjadi lebih
mudah diselesaikan.

Kita dituntut mampu membuat prioritas pekerjaan. Semakin sulit dan
menyebalkan, sebaiknya ditangani dulu. Sebab kalau tidak, mungkin
akhirnya tidak akan pernah kita sentuh lagi.

Ketiga, tidak menunggu waktu yang tepat untuk memulai. Banyak orang
menunda dan mempersiapkan pekerjaan secara bertele-tele. Mereka
menunggu mood datang. Padahal datangnya mood tidak bisa ditebak.

Tidak ada waktu yang tepat selain memaksa untuk memulainya. Kalaupun
tidak merasa nyaman, mulailah dengan standar rendah dengan mencoba
membuat draft terlebih dahulu. Perlahan-lahan barulah dipoles menjadi
sempurna.

Kita belajar dari seorang penulis. Seorang penulis tidak bisa disebut
penulis jika tidak menulis. Tulisan tidak bakal jadi, jika tidak
mulai menulis. Penulis yang hanya menunggu mood, tidak akan produktif
menghasilkan tulisan. Harus ada disiplin.

Di sini, diperlukan sikap contra agere, melawan kencenderungan
negatif. Kalau cenderung menunda pekerjaan, lawanlah dengan
mengerjakannya dengan total.

Pembaca, alangkah nyamannya kalau dengan waktu yang relatif singkat,
kita mampu menyelesaikan banyak hal dari pekerjaan kita. Bayangkan
seandainya kita mampu mulai mengelola energi kita dengan baik.

Selain pekerjaan kita selesai, kita juga punya waktu untuk keluarga
dan kehidupan pribadi kita. Mengertikah Anda sekarang, mengapa
pengelolaan energi adalah pegelolaan atas kualitas hidup kita? Sekali
lagi, kualitas hidup Anda tergantung dari energi yang Anda kelola!

Sumber: Kelola Energi Anda! oleh Anthony Dio Martin

11 September 2007

Standart Islam

Standart Islam = 3 Generasi Terbaik (Shahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in)
Sabtu, 03 Maret 2007
Sebagai seorang muslim, kita memiliki aqad (janji) dengan Allah SWT bahwa kita setuju untuk mematuhi dan mentaati semua yang berasal dari Allah SWT yang disampaikan pada kita melalui Rasulullah Muhammad SAW berupa Al-Qur`an atau Sunnah (perkataan-perkataan dari Rasulullah SAW), mengambil keduanya sebagai sesuatu yang haq (sebagai kebenaran yang absolut), kebenaran yang diketahui melalui wahyu dan tidak melalui manusia meskipun manusia dapat juga membawa kebenaran. Hal ini penting untuk dipahami dengan memulai kebenaran yang ada dalam bentuk Al-Qur`an dan Sunnah yang tidak dapat dirubah atau diganti, jika standart kebenaran berasal dari manusia maka manusia dapat salah atau keliru dan membuka peluang untuk terkena bisikan syaithan atau dengan arti yang lain.

Standart Islam adalah standar dimana Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk mematuhi yang terdiri dari Islam sebagai jalan hidup orang-orang yang beriman, dalam perbuatan-perbuatan dan transaksi-transaksi sebagaimana pemahaman yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat utamanya secara terperinci beserta generasi-generasi yang mengikutinya yaitu generasi tabi’in dan tabi’it tabi’in. Secara keseluruhan generasi yang bisa kita ikuti adalah generasi shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang secara pemahaman mereka sebagai salafus saleh, pemahaman mereka adalah pemahaman yang salafiyah atau siapa saja yang mengikuti manhaj atau jalan hidup dari salafi. Mengapa Para Shahabat Yang Dijadikan Standar ?Para shahabat adalah shahabat–shahabat Rasulullah SAW dan mereka berbicara langsung dengan beliau. Meraka pandai atau fakih dalam semua pengetahuan tentang Islam yang berbahasa Arab. Mereka memiliki guru yang terbaik dalam mengajar yaitu Rasulullah SAW dan beliau memiliki pengajaran yang terbaik dari segala pengajaran atau pendidikan karena langsung dari Allah SWT, kita tidak bisa bertanya langsung pada Rasulullah SAW, tidak seperti shahabat Rasul, mereka telah belajar pedoman dari grammar bahasa Arab atau mereka telah cakap di dalam membaca dan menulis bahasa Arab sebagai standar pemahaman. Mereka kita gunakan sebagai pemahaman pengetahuan bagi kita berdasarkan tingkatan pemahaman shahabat bukan dengan tingkatan pemahaman yang lain. Sebagai contoh pada saat Rasulullah SAW, penulisan Arab tidak memasukkan tanqit (tanda titik), tidak juga tashkil (harokat) seperti pada huruf daal (…) dan zaal (…) bisa terlihat sama. Mirip kedudukan bahasa Arab seperti pengetahuan-pengetahuan atau pemahaman Islam lainnya yang harus berlandaskan atas shahabat–shahabat Rasul yang mana merupakan bagian atau bidang dari sikap dan perilaku mereka, dalam membaca, memahami teks tanpa membuat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, semua yang datang setelah itu yang berusaha memandangi mereka (para shahabat), dalam hal ini, standar dan prinsip-prinsip mereka banyak menyimpang, dusta/kebohongan sehingga tidak bisa kita jadikan standar dalam memahami Islam. Bahasa Arab adalah bahasa yang diperlukan untuk mamahami hadits-hadits sebagaimana pemahaman Islam yang lain, kedudukannya sama yakni berasal dari khasanah pengetahuan Islam. Untuk semua topik-topik dalam Islam kita harus mencontoh Rasulullah SAW dan shahabat –shahabat-nya. Jika kita telah menjadikan dasar perbuatan kita atas dasar standar ini, maka bisa dikatakan bahwa kita telah melakukan Al-Ittiba’ atau telah mengikuti Rasulullah SAW dan para shahabat. Ittiba’ ini tidak hanya dibatasi mengikuti generasi pertama yang termasuk diantaranya tabi’in dan tabi’it tabi’in tapi juga mengikuti dan mendukung ulama-ulama yang masih berdiri dan mengikuti standar ini hingga hari ini. Dalil Untuk Mengikuti Shahabat Nahjus Salaf (Jalannya Salafus Sholeh) meliputi permasalahan aqidah (keimanan), amal (perbuatan) dan Minhaj (metode) dan sekarang kita akan terangkan secara jelas sumber-sumbernya yang berasal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana yang Allah SWT perintahkan kepada kaum muslimin untuk mengikuti shahabat dan mengikuti pemahaman mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`anul Karim bahwa kita harus mengikuti iman dari Rasulullah SAW dan shahabat–shahabatnya sebagai suatu kewajiban.“ Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqoroh : 137)Secara bahasa, dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata dalam bentuk yang plural (jamak) untuk kata ‘iman’ , ‘amantum’ mengindikasikan bukan hanya Rasulullah Muhammad SAW tetapi juga menunjukkan atas siapa saja yang beriman dengannya seperti para shahabat. Perluasan makna ini lebih lanjut dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa Qotadah, Ibnu Abas dan Ibnu Mas’ud berkata bahwa “ Maka jika mereka beriman kepada apa yang yang kamu telah beriman kepadanya …..” artinya jika orang-orang beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah SAW dan shahabat–shahabatnya beriman ……”Berkenaan dengan pengertian dari shahabat–shahabat Rasulullah, secara jelas dalam keterangan lain disebutkan bahwa : “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan pada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa “ (QS Al-Fath, 48 : 26)Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa, kalimat tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa Allah telah mewjibkan kepada para shahabat kalimat taqwa. Kata tersebut ada dalam bentuk jamak (plural) yang mengindikasikan bahwa yang dimaksudkan itu adalah keduanya yaitu Rasulullah SAW dan shahabat-shahabatnya, lebih lanjut Ibnu Abbas memperinci dalam tafsirnya beliau menjelaskan : “ Kalimat taqwa adalah tauhid dan wahyu Allah”. Lanjutan dari ayat tersebut berbunyi :“dan adalah mereka berhak dengan kalimat itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu” Dalam tafsir Imam Qurtubi, dilaporkan dari Qotadah dan Al Bara’ Ibn Aziz bahwa Al-Kalimatu Taqwa adalah laa ilaaha ilallah seperti dalam ikrar dari keimanan. Dilaporkan juga dari Ibnu Abbas dan Qotadah bahwa sakinah dalam ayat ini berarti wahyu, yang dapat dilihat dari ketenangan yang ada pada diri Rasulullah SAW dan lawan dari kesombongan (yang ada pada diri orang-orang kafir).Dalam Islam secara makna, statement Kalimatu-Taqwa memiliki beberapa arti, yaitu : 1. Laa ilaaha ilallah – kalimat syahadat atau ikrar keimanan, yang akan dijelaskan lebih lanjut. 2. Dilaporkan dalam Said bin Jubair dan Dahaaq menunjukkan atas Urwatil Wutsqa sebagai kalimat taqwa sebagaimana dalam ayat di bawah ini “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “ (QS. Al Baqarah, 2:56) 3. Kalimat Taqwa berarti kalimat kalimat toyyibah, seperti disebutkan dalam ayat, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit “ (QS. Ibrahim, 14 : 24) 4. Kalimat taqwa juga ditemukan dalam arti Al-Qaul Al-Thaabit, sebagaimana firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu” (QS. Ibrahim, 14:27)Di dalam shahih Bukhari, dinyatakan oleh Al Bara Ibnu Azib tentang tafsir ayat ini bahwa Rasulallah bersabda : “Ketika seorang muslim ditanya dalam alam kubur, maka dia akan memberikan kesaksian bahwa tidak ada satupun yang layak untuk diibadahi kecuali Allah dan Muhammad sebagai utusannya” dan pernyataan ini adalah Qoul al thaabit “.Lanjutan surat Al-Fath, “ Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu akan memasuki masjidil haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkannya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus diatas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjadikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang soleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar “. (QS Al-Fath, 48:27-29)Dalam ayat ini, Allah lebih lanjut menjelaskan tentang status dan sifat dari para shahabat seperti dalam lafadz “ keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka …” kemudian Allah SWT menegaskan keunggulan dan keistimewaan dan ketulusan ibadah mereka dalam firman-Nya. “Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…”Dalam ayat tersebut Allah telah menjelaskan kepada kita tentang tingkat keimanan shahabat dan kebaikan-kebaikan perbuatan mereka serta membenarkan perbuatan mereka. Kebenaran dan kedudukan penting shahabat serta contoh-contohnya disebutkan tidak hanya dalam Al-Qur`an akan tetapi juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah dan berita dari orang-orang sebelum kita. “ "Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil… "Beberapa negara sebelum datangnya Rasulullah s""udah tahu tentang shahabat melalui kitab Injil mereka. Oleh karena itu, ketika Umar bin Khothob r.a. masuk ke kota Yerussalem, orang-orang Nasrani langsung menyerahkan kota tersebut ke tangan kaum Muslimin, walaupun tidak memberikan kunci Bait-Al- Maqdis kepada siapapun kecuali seseorang yang kemudian memberikan ramalan sesuai sebagaimana yang dirinci dalam kitab Injil mereka.“Seorang rasul telah diutus di penghujung waktu yang memiliki kemurahan hati, pemimpin mereka menuntun untanya ditemani pembantunya dan dia memakai potongan pada bajunya. Dia adalah manusia yang menegakkan kebenaran dan memperjuangkan kalimat tauhid, ia berjalan dengan kaki telanjang, akan tetapi memiliki kelapangan hati yang besar dan berbicara dengan pandangan mata yang tajam dan memiliki beberapa tanda, ia menangis pada saat sholat yang terlihat pada wajahnya dan ia berbicara dengan suara lantang dan berkata : kebenaran akan menang, ini hanya persoalan waktu, berikan kepadaku kunci !” Sesungguhnya ketika orang-orang Yerussalem melihat Umar bin Khothob dari kejauhan mereka menangis dan memberikan kepadanya kunci sebab pendeta mereka mengakuinya dan berkata bahwa, “Sesungguhnya dia itu adalah salah satu seorang yang disebutkan dalam kitab Injil mereka”. Kelanjutan Tentang dukungan yang Datang Dari Shahabat Kita telah diberitahukan beberapa keterangan tentang shahabat dimana Allah telah menyebutkan bahwa Rasulullah dengan shahabatnya adalah orang –orang yang beriman dan sebagian golongan orang–orang yang memperjuangkan kalimat taqwa. Kita sekarang akan diberitahu kejelasan hal tersebut dalam firman Allah yang secara langsung yang menjadikan kita terikat untuk mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat dan jalan mereka yang mengikutinya. Allah SWT berfirman :” Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-Nya. Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya,(mereka mengatakan)“kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya dan mereka mengatakan “kami dengan taat” (mereka berdo’a) “Ampunilah kami ya tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali “. (QS Al-Baqarah, 2 : 285) Ayat ini menunjukkan akan keberadaan shahabat yang ada dalam keyakinan atau keimanan seperti dari Rasulullah sendiri. Oleh karena itu jika kita mengikuti keimanan shahabat maka kita akan memiliki keimanan yang seperti Rasulullah Muhammad SAW. “dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa yang lain selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS An Nisaa’ ,4:114-115) Ayat ini bermanifestasi bahwa Allah memerintahkan untuk mengikuti jalan dari para shahabat atau keutamaan yang dimiliki oleh shahabat, secara fakta siapa saja yang menentang Rasulullah sebagai rasulnya sendiri maka tindakan ini diserupakan kekufuran (seperti orang-orang yang tidak beriman). Jadi kita harus mengikuti perintah Allah yang keduanya berbentuk keimanan terhadap shahabat adalah sama dengan keimanan terhadap Rasulullah dan bagian kehidupan mereka ada dalam keimanan dan perbuatan-perbuatan mereka adalah juga bagian kehidupan Rasulullah. Dalam ayat Al Qur`an yang lain sering disebutkan tentang keistimewaan dari shahabat dan bentuk jamak atau kelompok, kedudukan mereka satu sama lain sebagai akibat dari prestasi keimanan yang telah mereka capai, sebagaimana firman Allah SWT : “ Orang–orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang –orang Muhajirin dan Anshor dan orang–orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. (QS. At Taubah,9:100). Dalam ayat ini, Allah SWT tidak hanya mengatakan tentang keridhoannya dengan golongan dari orang–orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam diantara orang Muhajirin dan Anshor tetapi Allah juga mengatakan akan keridhoannya dengan orang–orang yang mengikuti jalan mereka baik dalam keimanan mereka, perbuatan mereka dan metode mereka sebagai konsekuensi atas amal sholeh mereka maka Allah menjanjikan kepada 2 golongan tersebut (Golongan shahabat dan orang–orang yang mengikutinya) yaitu mereka akan mewarisi surga. Dalam ayat yang lain Allah SWT membuat keterangan-keterangan dengan menyebutkan shahabat sebagai golongan orang–orang yang memberikan baitul aqabah. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang–orang ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (QS. Fath, 48:18). Disini Allah memberi kesaksian atas apa yang ada dalam hati mereka (para shahabat) dan tujuan hidup mereka adalah kita atau dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari generasi pertengahan setelah generasi shahabat, mereka berbuat kebajikan semata-mata karena beberapa tuntutan seperti karena martabat atau jabatan dan bayaran, siapakah diantara generasi kita yang sudah dapat jaminan beraktivitas ibadah benar-benar murni karena Allah , bukan karena jaminan dan bayaran ? Apakah jika fakta mayoritas masyarakat sekarang tidak mengikuti jalan shahabat kita juga harus mengikutinya?Sayang sekali, pertanyaan ini adalah yang sering dan umum timbul ditengah-tengah masyarakat saat ini dimana masyarakat menilai kebenaran dengan jumlah banyak sedikitnya fakta yang ada. Jika banyak masyarakat mengikuti secara pasti ide, aqidah, atau manhaj (para shahabat) kemudian mereka mengalami kegagalan, maka akan dijadikan kebenaran terhadap diri seseorang yang mengambil suara mayoritas sebagai standar kebenaran. Berikutnya hal tersebut menjadikan orang–orang yang mengikuti manhaj yang benar sedikit jumlahnya terlepas dari apakah mereka memiliki bukti yang kuat atau tidak. Secara otomatis dalam pandangan masyarakat nilai kebenaran tersebut menjadi rendah. Prinsip suara mayoritas adalah benar merupakan suatu prinsip yang tidak Islami yang mana hal tersebut berasal dari keburukan konsep demokrasi dan akibat propaganda demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui media. Di dalam Islam konsep tersebut tidak diakui, labih lanjut Allah SWT menginformasikan kepada kita bahwa konsep tersebut harus dilawan atau diperangi seperti konsep standar kebenaran adalah suara mayoritas dan fakta yang bathil dan dusta belaka! Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang–orang yang dimuka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta kepada Allah “ (QS. Al An’am, 6:116). Ditambah lagi dalam firman Allah SWT : “Dan sebagian besar manusia tidak beriman walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf, 12:103). Di dalam Islam, kebenaran adalah kebenaran meskipun kamu hanya seorang saja atau sendirian, ada dalam jumlah yang kecil atau sedikit, sumber ini dikutip dalam kitabnya Imam Turmudzi vol. 4 p:467 dalam kitab Miskhat al masabih vol. 1 p:61 dan disumberkan dalam Al Imam al-Lailikai dalam bukunya Syarah Ushul Al-Itiqaad dalam 1 p:22 bahwa Abdullah ibn Mas’ud r.a. menceritakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jamaah (orang–orang yang mengikuti Rasulullah dan shahabat ) adalah orang–orang yang ada dalam kebenaran meskipun kamu hanya seorang diri saja.”Disampaikan dalam kitab Majmu’ Imam Nawawi, vol. 8 p:275 Imam Suyhuti dalam buku “Perintah untuk mengikuti dan larangan untuk mengikuti sesuatu yang benar”, p:152 dan Imam Saatibi dalam bukunya : “Da’a ila Sunnan”, vol 1 p:83 dalam riwayat dari Al Fudail bin Iyaadh bahwa Rasulullah bersabda:“Ikutilah jalan dari petunjukku meskipun sedikit orang yang mengikutinya dan hindarilah jalan dari kebinasaan dan penyimpangan (dari jalanku) meskipun banyak orang yang mengikutinya.” Diceritakan dalam kitab Imamul Aajiris, yaitu “Syari’ah” p.58 dan Khatib al Bagdadi dalam pendapatnya tentang imbalan atas orang–orang Ahlul Hadist ; p. 26 bahwa Imam Uza’i (juga dikenal sebagai Imam Shaafi’i yang kedua) berkata:“Ikutilah jalan orang–orang Salaf meskipun orang–orang mengejek kamu dan berhati-hatilah terhadap pendapat seseorang meskipun mereka mengagungkan pendapat-pendapat dengan mengatasnamakan mereka orang–orang Salaf melalui ucapan-ucapannya sendiri. Dan akan selalu menjadi orang–orang yang bergembira atau beruntung dan selamat ketika melakukan pembenaran terhadap jalan (orang –orang salaf.”. Shamsuddin Ibnu Qoyyim dalam “I’lam Al-Muwaqi’in”, vol. 3 p. 398 bercerita tentang Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkata:“Sadarlah bahwa Al-ijma’ (shahabat) dan perkataan-perkataan shahabat adalah sesuatu yang terikat atas landasan pengetahuan (Islam) yang barangsiapa mengikutinya berarti telah mengikuti kebenaran meskipun mereka hanya sendirian dan bahkan banyak seseorang yang selalu menunjukkan dan berjalan pada kebenaran maka kamu akan merasa bahwa tidak akan merasa sendiri. Akan tetapi kamu akan merasakaan rasa kekeluargaan dengannya dan tidak akan pernah hilang sesuatupun ketika kamu berteman dengannya.” Na’im Ibn Hamad Al-Ash’ari, salah seorang Sheikh dari Abu Hanifah (ra) berkata: “Jama’ah adalah apa-apa yang ada dalam kerangka keta’atan kepada Allah. Setiap orang akan menjadi fasiq tatkala mengikuti standar jama’ah yang berdiri di atas sesuatu yang menyimpang (dari keta’atan kepada Allah). Meskipun kamu hanya seorang maka ikutilah jama’ah yang sesuai dengan kerangka keta’atan pada Allah .”