04 March 2008

Berkomunikasi dengan Anak, Sulitkah?

Berkomunikasi dengan Anak, Sulitkah?


MINGGU, 2 MARET 2008 | 17:55 WIB
Oleh : Sawitri Supardi Sadarjoen
KEBANYAKAN orangtua berpendapat, kalau anaknya pendiam atau sibuk bermain sendiri, berarti anaknya manis, penurut, mandiri, dan tidak perlu mendapat perhatian khusus.
Sementara kebanyakan orangtua yang disibukkan oleh anak yang sangat rewel, sering memberi sebutan anak itu nakal, banyak maunya, dan tidak menurut.
Terhadap anak yang pendiam, mandiri, dan selalu menyiapkan keperluan sekolah sendiri, orangtua merasa segala hal sudah tercukupkan karena anak tersebut memang pada dasarnya anak manis yang penurut dan tahu akan kewajibannya.
Namun, dapat terjadi orangtua dikejutkan perilaku anak yang semula manis, penurut, dan tahu kewajiban tersebut tiba-tiba mogok sekolah, tidak kooperatif, serta menunjukkan sikap melawan orangtua. Apa pun yang disarankan orangtua seolah mental dan tidak berpengaruh. Anak jadi mengurung diri dan baru keluar kamar bila lapar atau perlu ke kamar mandi.
Orangtua menjadi bingung. Anak dimarahi dan dibentak dengan ungkapan, ”Ngomong dong, ada apa, kenapa enggak mau sekolah!” Bahkan dipukul sekalipun anak bergeming, malahan bisa mengatakan, ”Bunuh saja saya sekalian.” Walaupun, setelah beberapa saat anak akhirnya mau membuka mulut, menceritakan sepintas kenapa dia mogok sekolah.
Ternyata anak mendapat pelecehan dari teman-teman di kelas, dimusuhi sebagian besar teman kelasnya, bahkan dikata-katai. Tekanan emosional yang dialami anak sudah sedemikian besar dan tidak tertanggulangi lagi sehingga anak memutuskan mogok sekolah. Apa pun upaya orangtua dan guru untuk menarik kembali anak ke sekolah tidak berhasil. Anak tetap mengurung diri dengan konsekuensi tidak naik kelas. Sementara untuk pindah sekolah dan tidak naik kelas menuntut upaya khusus bagi anak dalam beradaptasi. Masalah semakin kompleks bagi anak di kemudian hari, apalagi bila kemudian ia juga mengalami kesulitan adaptasi dengan lingkungan baru.
Menyimak kasus anak mogok sekolah tersebut, kita dapat menyimpulkan, di balik perilaku mogok sekolah yang dilakukan anak tersebut, tersirat masalah yang lebih serius, yaitu kenyataan selama ini anak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orangtua.
Andaikan anak terbiasa terbuka kepada orangtua dan mampu dengan lancar mengutarakan perasaan dan pengalaman di sekolah, maka sebelum masalah yang dialami menjadi separah itu, orangtua dengan cepat bisa meminta guru membantu anak mengatasi masalah pelecehan yang dilakukan teman sekelas terhadap anak tersebut sehingga terhindar dari kemungkinan ekses dari pelecehan tersebut terhadap kelanjutan studi anak.
Yang terpenting, anak merasa didengar dan didukung orangtua manakala ia membutuhkan. Perasaan ini merupakan esensi dari rasa aman anak yang dibutuhkan bagi tumbuh kembang kepribadian anak di kemudian hari.
Mendengar anak
Mendengar efektif bukan hal mudah. Anak-anak dan remaja sering mengamati, orangtuanya tidak mendengarkan apa yang mereka ungkapkan.
”Ibu saya selalu teriak kalau saya baru akan mengutarakan perasaan saya secara jujur.”
”Ayah saya lebih mendengarkan kakak daripada saya, jadi saya lebih baik diam saja.”
Sebaliknya, orangtua juga mengatakan seperti berikut:
”Kalaupun saya bertanya, anak nomor dua ini tidak pernah bercerita apa pun tentang sekolahnya.”
”Setiap kali saya mulai bicara tentang sesuatu yang penting, dia hanya menjawab, ’Ah, Papah’, sambil terus pergi meninggalkan saya.”
Menyimak contoh komunikasi tersebut, kita dapat menyimpulkan, baik anak, remaja, maupun orangtua membutuhkan dirinya diterima dan dihargai baru mereka dapat menjalin komunikasi efektif. Biasanya, daripada merasa ditolak, mereka lebih memilih menghindari komunikasi sehingga terciptalah iklim relasi yang dingin, tidak hangat, tidak terpercaya, dan seperlunya.
Cara meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan anak, antara lain:
1. Ciptakanlah situasi yang nyaman dengan anak, sekitar 15 menit. Misalnya, saat-saat sebelum makan malam atau sesudah makan malam dengan mengawali komunikasi tentang hal-hal ringan sambil tidak memaksa anak bicara.
Saat akhir minggu mintalah anak memilih permainan atau aktivitas yang anak sukai dan bisa dilakukan bersama orangtua. Misalnya, bermain ular tangga atau main kartu remi (cangkulan) yang juga bisa diikuti anak yang lain. Atas dasar pengalaman bermain santai, anak akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa percaya kepada orangtua dan merasa diterima kehadirannya di hadapan orangtua.
2. Mulailah mendengar dan saling berbagi cerita, bisa bergantian menceritakan artikel yang dibaca atau mulai mendengar keluhan anak tanpa mengadili atau memberikan saran apa yang harus dilakukan anak.
3. Lakukan kontak mata yang luwes dan bersahabat saat mendengar cerita anak.
4. Jadilah diri sendiri apa adanya, artinya tidak perlu menjaga gengsi sebagai orangtua. Bersikaplah rileks dan tanggapilah ungkapan dan pendapat anak dengan sikap terbuka dan jujur. Tidak perlu harus menunjukkan wibawa orangtua selalu benar. Terkadang anak juga ingin melihat orangtuanya bisa salah. Bila ternyata pendapat orangtua salah, cobalah bersama anak mencari jawaban yang benar sehingga anak akan merasa dihargai. Perasaan dihargai akan menunjang peluang berkembangnya perasaan dipercaya dan terpercaya.
Dengan memperbaiki komunikasi dengan anak dan meluangkan perhatian khusus kepada anak yang justru pendiam dan tampak bersikap manis, upaya preventif orangtua terhadap kemungkinan terjadinya gangguan perilaku anak, seperti mogok sekolah atau berbohong, akan berhasil secara optimal. Semoga.
http://www.kompas.co.id/read.php?cnt=.xml.2008.03.02.17554253&channel=1&mn=20&idx=27

Bayi Butuh Tidur Berkualitas

Bayi Butuh Tidur Berkualitas

RABU, 20 FEBRUARI 2008 | 14:09 WIB
JAKARTA, RABU - Anda telah dikaruniai bayi atau punya batita? Perhatikan pola tidur buah hati anda. Sudahkah kebutuhannya akan tidur berkualitas terpenuhi? Menurut penelitian para ahli, tidur berkualitas, bukan sekadar tidur, merupakan hal penting dalam proses tumbuh kembang yang optimum pada bayi dan batita, karena di waktu mereka tidur terjadi puncak aktivitas regenerasi sel-sel tubuh dan tumbuh kembang otak.
Pola tidur yang baik pada bayi dan batita paling ideal dibentuk ketika mereka berumur 3-6 bulan. Ciri bayi dan batita yang mendapat cukup waktu tidur adalah mudah tertidur malam hari, mudah terbangun pagi hari, tidak rewel, mudah diatur, dan tak memerlukan tidur siang yang melebihi kebutuhan sesuai dengan perkembangannya.
Tidur berkualitas pada bayi dan batita bisa diperoleh jika mereka melewati dua tahapan tidur, yaitu tidur dalam atau tidur Non-REM (Non-Rapid Eye Movement) dan tidur aktif atau tidur REM.
Proporsi tidur REM pada bayi yang baru lahir adalah sebanyak 50% dari keseluruhan siklus tidur. Angka tersebut akan terus berkurang, hingga tinggal 20%, seiring pertambahan usia bayi.
Pola tidur
Pola tidur bayi dan batita akan berubah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Bayi yang baru lahir biasanya akan tidur selama 16-20 jam dalam satu hari. Pada umur itu pola tidur tak teratur, lama tidur siang dan malam hampir sama, lebih dipengaruhi oleh rasa lapar dan kenyang bayi.
Pada usia 2-12 bulan, umumnya bayi tidur selama 9-12 jam pada malam hari dan tidur siang 1-4 kali sehari. Ketika berumur 12 bulan-3 tahun, si kecil biasanya tidur selama 12-13 jam sehari, dengan tidur siang rata-rata satu kali saja dalam sehari pada usia 18 bulan.
Anak berumur tiga tahun yang tidur siang akan memiliki kemampuan lebih dalam menyesuaikan diri. Hal itu sangat penting dalam menentukan keberhasilan di sekolahnya. Pada usia empat tahun, anak bisa tidak lagi membutuhkan tidur siang. Tidur pagi dan siang (nap) berkaitan erat dengan lamanya atensi, quiet alert, dan cepatnya proses pembelajaran.
Pola tidur bayi dan batita memang bervariasi. Tapi, dalam satu bulan setelah bayi lahir, seharusnya ritme tidur dan bangun yang rutin sudah dapat terbentuk. Waspadalah jika hingga umur enam bulan ia masih belum memiliki pola tidur yang relatif teratur, karena itu bisa berarti ia memiliki masalah tidur. (M1-08)

Tidur siang baik untuk meningktakna kemampuan ingatan jangka panjang.

Cukup Enam Menit untuk Perbaiki Memori


Tidur siang baik untuk meningktakna kemampuan ingatan jangka panjang.
KAMIS, 21 FEBRUARI 2008 | 19:11 WIB

BERLIN, KAMIS - Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa tidur sejenak pada siang hari dapat bermanfaat memperbaiki memori atau daya ingat.

Sebuah riset di Jerman yang dilaporkan dalam jurnal New Scientist edisi terbaru pun mendukung fakta tersebut. Namun riset terbaru ini menarik karena mengindikasikan bahwa tidur siang dalam waktu sangat singkat pun yakni enam menit saja cukup untuk meningkatkan kemampuan mengingat sesuatu.

¨Tidur yang sangat singkat dapat memicu pemrosesan daya ingat dalam otak,¨ ungkap studi tersebut seperti dikutip BBC.

Adalah tim peneliti dari University of Dusseldorf Jerman, yang dipimpin Dr Olaf Lahl, yang mengungkap teori tersebut. Mereka melakukan pengujian untuk melihat sejauh mana tidur dalam waktu singkat berpengaruh terhdap daya ingat. Peneliti melibatkan sekelompok pelajar yang diminta mengingat serangkaian kata dan kemudian diberi waktu istirahat satu jam sebelum testing.

Di sela-sela istirahat satu jam, beberapa pelajar diperkenankan tidur selama enam menit, sementara yang lain tetap dalam kondisi terjaga. Hasilnya memang di luar dugaan, mereka yang sempat tidur ternyata menunjukkan kemampuan lebih baik dalam tes memori.

Hasil riset ini langsung direspon oleh seorang ahli dari Inggris yang menyatakan keraguannya. Professor Jim Horne, dari Sleep Research Centre di Loughborough University menilai bahwa manusia membutuhkan waktu tidur yang lebih lama untuk memperbaiki daya ingatnya.

Sejumlah riset memang telah membuktikan bahwa siklus tidur-bangun memainkan peran penting dalam perbaikan memori. Beberapa teori juga menyebutkan bahwa pemrosesan memori terjadi pada saat tidur lelap atau deep sleep, fase yang biasanya tidak akan dimulai hingga sekurangnya 20 menit setelah tidur.

Namun begitu, Dr Olaf Lahl dan timnya mengatakan tidak mustahil bahwa momen tertidur dapat memicu sebuah proses dalam otak yang bakal terus berlanjut tanpa dipengaruhi seberapa lama seseorang terjaga.

¨Dalam pengetahuan kita, ini mendemonstrasikan untuk pertama kalinya bahwa sebuah episode tidur yang sangat singkat menyediakan peningkatan daya ingat yang efektif, tulis Dr Olaf dalam laporannya.

Professor Jim Horne berkomentPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0ar bahwa riset yang dilakukan Dr Olaf ini terbilang menarik meski ia belum yakin bahwa efeknya hanya pada peningkatan memori semata.

¨Ide bahwa memori bisa ditingkatkan hanya dalam enam menit adalah temuan yang cukup unik dan harus ditanggapi dengan lebih hati-hati. Ada cukup bukti bahwa proses memori mungkin terjadi lebih dari enam menit setelah tidur,¨ tegasnya.
http://www.kompas.co.id/read.php?cnt=.xml.2008.02.21.19111044&channel=1&mn=20&idx=27