20 September 2007

Awas! Kartu Kredit Menjebak Kita

Awas! Kartu Kredit Menjebak Kita
Ditulis oleh Junarto di/pada Juni 23rd, 2007

“Saya mengajukan permintaan kartu kredit,” kata seorang rekan kerja yang baru lulus universitas, “tapi ditolak.”

“Wah, saya malah selalu ditawari bank kartu kredit,” kata seorang rekan yang lebih senior. “Kartu kredit saya emas….”

Saya menangkap ada perasaan bangga pada nada ucapannya. Mungkin buatnya kartu kredit emas menunjukkan simbol keberhasilan pencapaian karirnya, atau pengakuan resmi atas keberadaan dirinya. Gengsi, istilah popularnya.


Saya ingat, dulu saya pernah dihubungi seorang wanita petugas bank. “Selamat,” katanya. “Anda terpilih mendapatkan kenaikan pagu. Kartu perak Anda kami tingkatkan menjadi emas.”

Alih-alih mengucapkan ‘terima kasih atas kepercayaan bank kepada saya,’ saya menukas dengan tegas, “Saya tidak tertarik. Justru sebaliknya, saya ingin penurunan pagu.”

Jawaban yang mengagetkannya, tentu saja.

Kali lain petugas itu menelepon saya lagi. Tapi saya tolak. Kamis pekan lalu, saya akhirnya menghubungi layanan pelanggan, dan benar-benar menuntut penurunan batas kartu kredit saya.

Sudah tujuh tahun saya memegang kartu utang, tapi jarang saya menggunakannya lebih dari 25 peratus pagu. Lebih sering di bawah itu. Saya tahu, dengan kotak tipis bermagnet ini, bank mendorong kita bertindak konsumtif: gesek, gesek, dan gesek. Cicil, cicil, dan cicil. Bunga, bunga, dan bunga! Tiba-tiba saja kita terperangkap dalam utang yang lebih besar daripada penghasilan kita, sedangkan bank sendiri diuntungkan dari bunga tunggakan yang terus berbunga.


Bank mengatakan, saya nasabah yang baik, terpilih, tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan ini, bla-bla-bla…. Omong kosong. Ada udang di balik batu. Yang gampang saja, jika saya terima tawaran itu, saya harus membayar iuran tahunan lebih mahal. Artinya, saya mengeluarkan kocek untuk sesuatu yang tidak perlu, yang tidak sesuai dengan pola belanja saya.

Saya akui, ketika baru lulus perguruan tinggi saya ingin memperoleh kemudahan, gengsi, dan prestise sebuah kartu kredit sebagaimana yang telah saya lihat sekilas pada kakak saya yang mapan. Pada pertengahan tahun 2000, bekerja pada sebuah anak perusahaan manufaktur otomotif, saya yang percaya diri sempat kecewa ketika permohonan saya ditolak sebPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0uah “bank kota” tanpa alasan apapun.

Namun, ketika saya berada di sebuah pusat belanja swalayan dan hendak pulang, seorang pramuniaga dari bank yang lain mencegat dan membujuk saya, “Mas, ayo dong isi formulir aplikasi kartu kredit.”

Saya senang saja, karena waktu itu saya memang lagi kepingin.

“Apa gaji Mas sudah lewat dua juta?”

Dia kegirangan ketika saya mengiyakan.

Dengan proses yang sederhana, jadilah saya memiliki kartu kredit untuk kali pertama. Wah, bangga benar rasanya. Saya memuji-muji diri saya dalam hati. Saya eksekutif muda nih, punya kartu kredit….


Sebelumnya saya terbiasa menggunakan kartu debet. Tapi, setelah itu, saya bereksperimen mencoba bertransaksi dengan ‘mainan baru.’

Satu bulan kemudian, tagihan pertama datang. Saya coba tidak membayar penuh. Ternyata, bulan berikutnya tagihan melonjak. Saya baru sadar kalau perhitungan bunga dimulai pada saat saya melakukan transaksi, bukan pada saat jatuh tempo. Dengan begitu, bulan ketiga, saya harus membayar bunga berbunga untuk dua bulan!

Saya baru mafhum, inilah perangkap bunga berbunga. Lantas saya putuskan membayar penuh dengan asumsi tunggakan segera lunas. Namun, pada bulan ke-4, masih muncul tagihan yang mengharuskan saya membayar Rp30.000 lagi. Baiklah, saya ikuti saja. Sesudah itu beres, pikir saya. Sialnya, pada bulan berikutnya di lembar tagihan tercetak biaya administrasi Rp8000! Ini pemerasan, meskipun kecil jumlahnya. Saya bertanya-tanya, bagaimana dengan orang yang tagihannya jauh lebih besar ketimbang saya?

Sejak saat itu saya memutuskan selalu membayar penuh. Tapi, lima tahun kemudian, kartu kredit ini saya tutup, dan saya ganti dengan kartu kredit bank lain yang menawarkan kemudahan cicilan tetap.

Pindah kerja, saya sekantor dengan kawan lama. Dia pengguna setia kartu kredit. Pengeluaran bulanan untuk anak istrinya, yang kadang melebihi pendapatannya, ia cukupi dengan kartu kredit. Setiap bulan dia mencicil batas terkecil, tapi tentu saja, saldo tagihannya tidak lunas-lunas juga, lantaran bunga berbunganya kira-kira setara dengan pembayaran minimalnya!

Sebulan lalu, seorang sahabat yang lain, dikejar-kejar pemungut utang lantaran menunggak pembayaran hingga empat bulan. Dia taksanggup melunasinya karena tiba-tiba saja bangkrut. Bahkan, dia tidak lagi mencicil meskipun dengan nilai terkecil. Bank menagihnya dengan segala cara, mulai makian sampai ancaman fisik. Tukang pukul datang ke rumahnya, menerornya dan keluarganya. Perlakuan bank kepadanya sungguh biadab, sangat berbeda dengan saat ketika dengan ramah-tamah mereka menawarkan kartu plastik ini kali pertama. Saldo utangnya yang x rupiah, melonjak menjadi 1,5x rupiah dalam empat bulan! Pantas saja semua bank agresif menawarkan kartu kredit kepada khalayak. Pendapatan bunganya gila-gilaan. Inilah konsep riba yang dalam Islam diharamkan.

* * *

Selain godaan pola hidup boros, membawa kartu kredit ke mana-mana sangat berisiko. Pagu kartu kredit mewakili seberapa besar risiko yang harus kita tanggung. Bohong, jika bank mengatakan kartu kredit “tidak serawan membawa uang tunai.” Sebab, andai ia hilang, dicuri, atau jatuh, orang yang menemukannya bisa saja memanfaatkannya dengan mudah. Tanda tangan? Gampang dipalsukan. Apalagi, pengalaman saya, di gerai-gerai penerima kartu kredit, kasir tidak terlalu sungguh-sungguh memastikan keaslian tanda tangan pada struk. Itulah sebab, di surat pembaca koran, kita sering mendengar keluh-kesah nasabah yang tidak merasa melakukan transaksi tertentu, tapi bank tetap membebankan tagihan kepada mereka, padahal tanda tangan pada struk itu jelas berbeda dengan yang tertera di kartu. Sintingnya, jika nasabah menolak, mekanisme bunga-berbunga terus bekerja, sedangkan pemungut utang yang ganas sudah menanti mereka! Bank hanya memikirkan hak-hak mereka. Setiap penyangkalan transaksi membutuhkan prosedur yang panjang, memakan waktu dan uang nasabah. Lupakan keramah-tamahan mereka. Di balik senyum ramah, mereka serigala berbulu domba.

Akan tetapi, tentu saja, kalau kita bisa mengelolanya secara hati-hati, kartu kredit bisa berguna, paling tidak sebagai alat pembayaran. Bila Anda ingin memilikinya, usahakan pagu Anda wajar. Biasanya bank memberikan pagu lebih besar daripada gaji kita. Nilainya bisa empat kalinya. Saya menganjurkan Anda mengajukan pagu setengah, atau sepertiga gaji, sehingga jika Anda mengalami masalah dengan kartu kredit dalam bentuk apapun, Anda dengan mudah mampu mengatasinya.

Mengapa bank memberikan pagu berkali-kali gaji kita, bukan sebaliknya? Di sinilah letak perangkapnya. Dengan umpan pagu yang tinggi, bank ingin kita merasa ‘lebih kaya,’ seolah kita mempunyai ‘lebih banyak uang,’ mampu membeli apa saja tanpa keterbatasan penghasilan. Dengan begitu, kita terbiasa dengan konsumsi tinggi dan ujung-ujungnya terjebak utang. Jika sudah terperangkap, harta benda kita yang nilainya lebih besar daripada utang kita, dirampas bank dengan paksa. Tentu saja, bank tidak bodoh, karena ketika mereka menyetujui permohonan kita, mereka sudah berhitung, berapa besar resiko dan keseluruhan harta-benda kita yang bisa menanggungnya.

Banyak orang membangga-banggakan pagu kredit yang tinggi. Saya tekankan, itu hanyalah kebanggaan semu. Yang bank inginkan, gaji kita berpindah ke brankas mereka melalui cicilan konsumtif kita setiap awal bulan, bahkan sebelum kita sempat menganggarkannya untuk kebutuhan keluarga, kita sudah dikirimi lembar tagihan. “Setiap bulan,” keluh seorang teman, “gajiku habis hanya untuk melunasi tagihan.”

Pendek kata, penggunaan kartu kredit pada dasarnya menambah pengeluaran Anda. Oleh sebab itu, untuk alat pembayaran, saya menyarankan kartu debet. Sebaiknya Anda punya dua rekening bank. Yang pertama untuk tabungan yang takkan diganggu gugat kecuali mendesak. Yang kedua rekening dengan akses kartu debet untuk kebutuhan sehari-hari dan transaksi pembayaran, yang nominalnya dianggarkan setiap bulan. Jadi, ketika Anda tergoda barang-barang konsumtif tapi takpunya uang, Anda takkan memaksakan diri, apalagi jatuh dalam perangkap kartu kredit.

Di Balik Tayangan Infotainment

Di Balik Tayangan Infotainment
Ditulis oleh Junarto di/pada Juli 8th, 2007
“Ceche Kirani menggelar jumpa pers tanpa dihadiri suaminya. Mungkin suaminya tak bisa menyertai Ceche Kirani karena mengumpulkan tenaga untuk nanti malam…..”
“Pemirsa, kami berhasil mengintip lebih jauh soal isu keretakan rumah tangga artis X. Awalnya X yang sering tampil seksi ini mengelak ketika kami konfirmasi. Tapi wartawan kami berhasil mengawasi rumah mereka selama sehari semalam dan terbukti suami X tidak pulang. Ini semakin meyakinkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis. Apalagi gosipnya ada orang ketiga… bla bla bla….”
Begitulah gaya wartapelipur (infotainment) menciptakan sensasi untuk memancing perhatian penonton. Mengacaukan fakta dengan gosip dan prasangka. Banyak stereotip, mitos, dan penilaian yang terburu-buru.

Tidak jarang sebuah peristiwa yang sesungguhnya banal, remeh, biasa saja, dipaksa diangkat menjadi sebuah tayangan, yang tidak matang untuk bisa disebut sebuah karya jurnalistik. Para pekerja wartapelipur cenderung bekerja atas dasar desas-desus, atau fakta yang kemudian dibumbu-bumbui (h.48).
Wartapelipur adalah sebuah konsep mengemas informasi serius dalam bentuk yang menghibur. Tapi, di Indonesia, wartapelipur bermakna informasi tentang dunia hiburan dan gemerlap gaya hidup para pesohor (h.28). Ia menjadikan artis dan kehidupan artis sebagai komditas. Bagaimana warga ‘khusus’ ini menjalani kehidupan wajar mereka menjadi sesuatu yang luar biasa. Artis melahirkan, ulang tahun, menikah, bulan madu, umrah atau haji, pacaran, putus, cerai, atau rujuk, ataupun bagaimana mereka mengajak anak-anak mereka menjalani liburan sekolah, menjadi hal yang penting.
Acara wartapelipur dalam satu hari dimunculkan selama 13 jam, atau lebih dari setengah hari (h.7). Dalam kurun 2002 hingga 2005 jumlah program wartapelipur di TV swasta meningkat dari 24 episode per minggu (3 espisode per hari) menjadi 180 episode per minggu atau 26 episode per hari (h.7). Ini menunjukkan bahwa acara wartapelipur bagi stasiun televisi sangat menguntungkan. Wartapelipur mampu mendapatkan penonton meskipun acara ini ditaruh pada jam-jam mati (pukul 7, 9, 15, dan 16). Sampai-sampai pemrogram melakukan strategi tayang ulang pada jam lain pada hari yang sama. Atau, mereka memperpanjang durasi acara dari 30 menjadi 60 menit (h.86). Namun, peringkat acara ini tetap bersaing (h.106). Perbandingan keuntungan acara waPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0rtapelipur memang tinggi. Harga beli satu episode wartapelipur dari rumah produksi berkisar antara Rp15 sampai 60 juta sedangkan pendapatan bersih dari penjualan ruang iklan per episode bisa mencapai Rp35 juta (h.95).
Ilham Bintang adalah contoh jaya seorang pengusaha wartapelipur. Ketika mendirikan rumah produksi pada tahun 1997, dia dan empat orang kawannya mengumpulkan modal Rp1 miliar. Dalam setahun, Ilham membeli semua saham yang ditanam teman-temannya tadi. Bisnis yang dia kerjakan ini bahkan mampu mengatasi krisis ekonomi pada akhir 1990-an (h.104).
Cara kerja awak wartapelipur sebenarnya mirip dengan wartawan layar kaca. Ada rapat perencanaan, dan peliputan ‘berita.’ Paling lancar bila ‘berita’ datang dengan sendirinya. Misalnya para artis yang mengundang awak wartapelipur meliput kegiatan mereka. Atau, para artis dengan suka rela bersedia diwawancarai ataupun menerima janji wawancara. Para artis sering melakukan ini untuk mendapatkan publikasi, demi popularitas mereka sendiri.
Yang sukar jika mereka menolak diwawancarai. Biasanya awak wartapelipur mengejar-ngejar artis dengan paksa dan menerabas batas pribadi mereka. Nicky Astria, misalnya, pernah didesak menjawab pertanyaan dengan sodoran mikropon yang menahan kaca jendela mobilnya (h.122). Atau tidak jarang, awak wartapelipur terlalu gampang meledakkan gosip yang faktualitasnya belum teruji. Desas-desus tentang perceraian Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale, sebagai contoh, sampai membimbit Kabar Idola yang dibuat rumah produksi Sandhika Widya Cinema ke meja hijau (h.132).
Pembelaan diri Kabar Idola dalam episode berikutnya adalah bahwa “persoalan telah diselesaikan secara kekeluargaan.” Wartapelipur ini justru mempersalahkan sumber berita yang dikutipnya sendiri kalau gosip itu tidak benar. Yang benar dalam versi wartapelipur, mereka menurunkan “materi tayangan yang tidak lengkap,” (h.132). Mereka juga berapologi, kesalahan itu “manusiawi” karena wartawan mereka “masih muda-muda dan membutuhkan arahan bimbingan dari artis senior dan organisasi kewartawanan.”
Tidak jarang desas-desus dikembangkan dengan mewawancara paranormal tentang apa yang tengah terjadi ataupun yang bakal terjadi. Mama Lauren, umpamanya, adalah peramal yang biasa muncul di layar televisi pada akhir tahun, sedangkan Ki Joko Bodo pernah dengan yakin menjelaskan peristiwa pernikahan seorang artis, bahwa itu, katanya, dilakukan demi karir si pesohor (h.140-141).
Persoalan-persoalan tersebut menunjukkan betapa sering para awak wartapelipur melakukan kegiatan yang dalam konsep jurnalistik tidak etis dan menggampangkan prosedur profesi. Seorang wartawan, misalnya, pantang memaksakan kehendak jika narasumber takbersedia menjawab.
Selain itu, tak peduli berapa pun usia seorang wartawan, faktualitas berita bergantung kepada prosedur jurnalistik yang panjang, yang menekankan kebenaran dan ketepatan sebuah berita. Bukan langkah-langkah mengangkat gosip serampangan.
Fatalnya, para awak wartapelipur sering mengelompokkan artis kedalam definisi kata ‘figur publik,’ untuk memberi para artis legitimasi buat mengomentari masalah-masalah sosial politik terkini. Padahal, artis bukan pihak yang bisa menentukan atau mengambil kebijakan publik.
Tapi, dengan ilmu sosial dan pengetahuan jurnalistik yang terbatas, para awak wartapelipur merasa sedeajat dengan wartawan profesional dan bersikeras ingin diaku menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Padahal, jika hendak mendapatkan pengakuan lebih daripada sekadar secarik kertas, banyak hal yang harus mereka benahi, umpamanya, meningkatkan kapasitas profesionalitas dan pengetahuan jurnalistik.
Buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang dunia wartapelipur. Di antaranya bagaimana konteks historisnya, mengapa ia mendominasi tayangan televisi kita akhir-akhir ini, bagaimana proses produksi di balik layar, bagaimana kandungannya sendiri, dan bagaimana persoalan-persoalan etis menyertainya. Ia memang tidak menawarkan pemecahan akademis, tapi penuturan yang deskriptif dan naratif menjadikannya layak dijadikan bahan bacaan bagi pemerhati masalah media massa.
Judul Buku: Infotainment; Penulis: Bimo Nugroho, Teguh Imawan, dan kawan-kawan; Pengantar: Ade Armando; Tebal: viii + 179; Penerbit : Komisi Penyiaran Indonesia; Tahun: 2005

Matikan TV Kita!

Matikan TV Kita!
Ditulis oleh Junarto di/pada September 8th, 2007
“Jangan tonton acaranya dong kalau nggak suka,” kata seorang pengurus Asosiasi Jurnalis Televisi Seluruh Indonesia (AJTSI) dalam sebuah seminar menanggapi kritik para peserta atas tayangan televisi yang kebanyakan dibuat asal-asalan dan mengekspoitasi selera rendah manusia.
Dia berargumen, jika masyarakat tidak menonton, rating acara yang bermasalah itu akan turun, sehingga acara itu pun dihentikan karena tidak ada agen iklan yang bersedia memasang siaran niaga pada jam acara tersebut. Kenyataannya, menurutnya, rating acara-acara yang bermasalah itu justru tinggi, jadi tidak ada alasan bagi televisi menghentikan penayangan mereka.
Itulah gambaran nalar para pelaku awak televisi kita yang dengan gampang mempertuhankan rating, sehingga terciptalah cara pandang yang simplistis ini: tayangan menciptakan rating dan sebaliknya rating pun menentukan tayangan. Dengan cara pandang seperti ini, mereka mengabaikan aspek-aspek lain di luar logika komodifikasi tayangan semisal dampak visualisasi rekaan televisi terhadap proses pembelajaran sosial.
Pemahaman yang menyederhanakan itu memperlihatkan betapa rendah kualitas para awak televisi, sekaligus merefleksikan jejak sejarah industri televisi di tanah air. Menurut Sunardian, industri televisi lahir dengan latar belakang yang berbeda dengan surat kabar dan radio. Surat kabar yang berkembang pada awal abad ke-20, umpamanya, membawa semangat penyadaran untuk menentang kolonialisme. Begitu pula radio pada era 1940-an tumbuh dengan misi perjuangan. Akan tetapi, televisi swasta pada akhir dekade 1980-an lahir karena ‘kecelakaan.’ Ia dipaksakan ada tanpa perencanaan matang, sekedar memenuhi ambisi kroni-kroni penguasa pada saat itu.
Pendirian RCTI, misalnya, berkaitan dengan distribusi kemakmuran yang timpang. Tujuh puluh peratus kapital nasional menumpuk di Jakarta dan dikuasai oleh Keluarga Cendana dan kawan-kawan mereka. Penumpukan modal yang besar itu membuat mimpi untuk membangun sebuah stasiun televisi swasta yang membutuhkan ratusan miliar rupiah mungkin diwujudkan. Begitu pula kemunculan stasiun-stasiun televisi berikutnya-seperti TPI, SCTV, Indosiar-cenderung disebabkan oleh faktor Keluarga Cendana, dan pada dasarnya taklayak disebut sebagai industri televisi lantaran tidak didukung infrastruktur yang memadai. Tiada sumber daya manusia yang menguasai penyiaran. Tidak ada juga regulasi tentang penyiaran. Regulasi baru dibuat kemudian sekedar mengesahkan perilaku Keluarga Cendana. Boleh dibilang, industri televisi di tanah air dibangun dengan pelbagai ketidaksiapan (h.8-9).
Maka, stasiun televisi bertumbuh tanpa visi, juga tanpa nalar yang tepat. Secara sempit ia sekedar diarahkan sebagai mesin pencetak uang. Dalam situasi serba tidak siap inilah televisi-televisi swasta menciptakan, dan menyebarkan sebuah budaya tunggal yang dominan dan meminggirkan budaya-budaya lain Nusantara yang sesungguhnya beraneka dan mewujud. Sebelas stasiun televisi Jakarta mencekoki mata-telinga sembilan puluh persen penduduk Indonesia yang heterogen dengan tayangan-tayangan Jakarta sentris. Mulai berita, warta hiburan, sinetron, permainan, musik, dan panggung hiburan, semua mencerminkan masyarakat kota dengan gaya hidup mereka.
Satria Naradha, seorang pendiri Bali TV, (Media Watch, 38/2005) sampai-sampai merasa gusar lantaran muda-mudi Bali kini terbiasa mengucapkan kata-kata yang kejakarta-jakartaan. Selain itu, kata Naradha, masyarakat daerah lebih akrab dengan sinetron Raam Pundjabi ketimbang lakon-lakon daerah. Pendek kata, daerah telah menjadi korban penuhanan rating oleh awak televisi Jakarta.
Tentu saja, penuhanan rating juga menurunkan kualitas tayangan karena kualitas dengan demikian harus dikalahkan. Para pekerja kreatif di belakangnya, umpamanya, menjadi ‘tukang ketik’ yang menulis tanpa perenungan ataupun pendalaman. Mereka sekedar memenuhi tuntutan produksi akan apa yang dipercaya dapat mengejar rating (h.77). Sebuah acara yang berating tinggi di sebuah stasiun televisi pasti akan ramai-ramai ditiru habis-habisan oleh stasiun-stasiun televisi yang lain.
Sesungguhnya awak televisi salah menafsirkan rating dengan menempatkannya sebagai ukuran (h.93). Padahal rating bukan kualitas (h.92) dan hanya melihat jumlah penonton tanpa memedulikan kesukaan (preferensi). Dengan kata lain, pemuja rating menafikan kemungkinan penonton menonton sebuah acara televisi karena itu kebiasaannya ataupun lantaran pilihan mereka pada dasarnya terbatas. Faktor inilah yang bisa menyebabkan rating menjadi tinggi dan mengelabui pemasang iklan maupun awak televisi.
Bahkan dalam wawancara saya dengan Direktur Penelitian A. C. Nielsen Irawati, terungkap bahwa pihaknya sama sekali tidak berpretensi membuat sebuah generalisasi bahwa keluaran rating menunjukkan kecenderungan perilaku menonton masyarakat secara nasional. Sebab, katanya, pegambilan sampel hanya dilakukan di sembilan kota di tanah air: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makasar, Palembang, Denpasar, Yogyakarta. Saya pun menemukan bahwa pengambilan sampel juga tidak menjangkau desa-desa yang dihuni delapan puluh peratus rakyat Indonesia. Kesembilan kota itu dipilih sebagai sampel untuk menuhi kebutuhan pengiklan dan produsen karena sebagian besar barang dan jasa beredar di kota-kota itu. Jadi, di sini jelas bahwa awak televisi tidak bersikap kritis terhadap metodologi rating A.C Nielsen. Boleh dibilang, mereka berusaha memenuhi selera penduduk sembilan kota yang minoritas, tapi justru mengorbankan mayoritas penduduk Indonesia.
Standar Ganda Awak Televisi
Setelah Suharto jatuh, pengusaha dan awak televisi memperoleh kebebasan penuh melakukan kegiatan mereka. Kejatuhan Suharto dijadikan sebagai alasan oleh pengusaha dan awak televisi swasta menolak Undang-undang No.24 tahun 1997 tentang perizinan dan kewajiban pancar-terus siaran-siaran TVRI. Akan tetapi, ketika Undang-undang No.32/2002 disahkan, mereka juga menolaknya dengan alasan undang-undang itu mengekang kebebasan dan mengembalikan otoritarianisme. Padahal, seharusnya, jika Undang-undang No.32 ditolak, yang berlaku adalah undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No.24/1997.
Undang-undang No.32/2002 secara adil mengatur hak-hak masyarakat mendapatkan informasi (h.110) dan memberi negara kewenangan tata kelola media siaran melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Namun, pada praktiknya ia belum bisa dijalankan karena belum ada peraturan pemerintahnya akibat ketidakikhlasan pemerintah memberi KPI kewenangan penuhnya. Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono yang melihat televisi strategis untuk kampanye pemerintah membuat tafsiran sendiri bahwa ‘negara’ yang dimaskud Undang-undang No.32 tahun 2002 adalah ‘pemerintah.’ Begitu juga penolakan para kapitalis media terhadap undang-undang ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan berkurangnya aktivitas akumulasi modal mereka. Perlawanan mereka terhadap keberadaan KPI dengan mengajukan uji materil Undang-undang Penyiaran menunjukkan egoisme, keangkuhan, dan ketidakpedulian terhadap kebaikan bersama.
Dalam situasi lawless ini gelombang kedua gelombang kedua stasun-stasiun televisi swasta lain muncul (Metro TV, Trans TV, Lativi, TV7, Global TV) (h.10). Mereka mengudara tanpa kendali sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka. Para awak televisi memikirkan kepentingan mereka semata, yaitu mencetak laba. Namun, mereka tak memedulikan dampak buruk akibat perilaku mereka yang semena-mena.
Dampak Buruk Televisi
Dalam ilmu komunikasi, studi tentang dampak menghasilkan simpulan yang berbeda-beda, mulai kuat, lemah, dan akhirnya moderat (Severin, 1997). Tapi Sunardian berpendapat acara-acara televisi yang mengabaikan norma mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap anak-anak, remaja. Sunardian mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua tahun yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses wiring-proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak-menjadi tidak sempurna (h.141). Sebab, bayi yang berada di depan televisi tidak mempunyai pengalaman empiris. Gambar-gambar televisi mengekspolitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi yang meloncat-loncat sehingga mengganggu konsentrasi mereka (h.142).
Adapun pada remaja, Sunardian meaykini bahwa tayangan-tayangan sinetron yang tipologis dan mengabaikan aspek sosiologis dan psikologis menyebabkan remaja tidak berkesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya dan melihat segala sesuatunya serba artifisial. Kehidupan nyata akan membuat mereka patah semangat dengan gampang kecewa (h.143). Sementara itu, kaum ibu bisa kehilangan jati diri karena diombang-ambing hasrat untuk mengkonsumsi dan memiliki( h.147). Meskipun begitu, tentu saja, semua hipotesis ini masih harus diujji dengan kajian mendalam.
Buku karya Sunadian ini benar-benar layak mendapatkan tahniah. Buku ini berhasil mengkritik fenomena pertelevisian di tanah air secara menyeluruh, mulai latar belakang kelahiran televisi di Indonesia, kandungan tayangan dan penyeragaman, konteks praktik produksi, konsep dan praktik rating, dampak, dan konteks politik-ekonomi. Meskipun tidak bisa dibilang ilmiah dalam arti menerapkan teori dan metodologi yang ketat, buku ini banyak menyuguhkan fakta aktual sehingga tetap layak dijadikan rujukan, terutama oleh peneliti atau pemantau media, ataupun praktisi media-agar wawasan mereka terbuka tentang konteks dunia kerja mereka. Para pengamat sosial dan mahasiswa komunikasi mungkin dapat memperoleh rujukan empiris tentang praktik industri televisi. Bahkan ibu-ibu rumah tangga bisa mendapat cakrawala baru akan pentingnya melindungi keluarga dari pengaruh buruk televisi, misalnya dengan jalan sederhana: mematikan televisi.
Judul Buku: Matikan TV-MU!; Penulis: Sunardian Wirodoni; Tebal: 177 halaman + xix; Penerbit: Resist Book, Tahun: 2005

17 September 2007

Kelola Energi Anda!

Kelola Energi Anda!

"Energilah faktor utama tingginya kinerja, bukan waktu"
(Jim Loehr & Tony Schwartz, penulis "The Power of Full Engagement")

Saya sering menjumpai orang yang merasa bangga sekaligus memelas
terkait dengan ketergantungannya pada jam kerja yang berlebihan.

Orang ini tampaknya bermasalah dengan waktu, tapi lebih-lebih
sebenarnya mereka punya masalah dengan energinya.

Dari mereka, ada yang berkomentar, "Waduh, kalau tidak ngelembur,
pasti pekerjaan saya tidak bakal beres." Komentar kain, "Namanya juga
kerja di perusahaan kami, kalau enggak lembur, rasanya belum jadi
karyawan yang sesungguhnya" atau " Kalau enggak pukul sembilan malam,
belum bisa pulang. Kadang Sabtu dan Minggu juga masuk kantor."

Memang, tidak ada yang mampu menghentikan waktu. Sementara itu,
banyak orang yang terobsesi dengan waktu sebagai tolok ukur
produktivitas. Seolah-olah orang yang sudah menghabiskan banyak
waktu, dengan sendirinya dinilai sebagai orang produktif.

Inilah salah kaprah yang banyak terjadi dalam konteks 'bekerja'
sekarang. Orang berlomba-lomba mengelola waktu. Padahal, yang
sebenarnya fundamental adalah mengelola energi untuk bekerja.

Ada kisah menarik. Seorang manajer perempuan terbiasa bekerja hingga
larut malam. Biasanya, dia baru hengkang dari kantor pukul sembilan
atau 10 malam. Bisa jadi, dia adalah orang yang gila kerja
(workalholic) . Kebiasaan ini dia bawa sampai ketika menikah.

Suaminya pun sempat melayangkan ultimatum. "Kamu pilih kerja atau
keluargamu? Kalau kamu tetap pulang selarut itu, lebih baik kamu
berhenti bekerja! Toh penghasilan saya bisa lebih dari cukup buat
menghidupi kamu. Saya ijinkan kamu bekerja maksimal sampai pukul enam
sore. Sadarlah, keluarga kamu membutuhkanmu, " keluh suaminya.

Perempuan karir itu pun akhirnya mendengarkan opini suaminya.

Akhirnya, dia mengaku, sejak mendapat ultimatum itu dia berusaha
menata dan mengatur lagi energinya dalam bekerja. Dia merasa tidak
lagi membuang-buang energi untuk suatu yang sia-sia.

Dia bercerita, sudah hampir 1,5 tahun bisa pulang ke rumah on time!
Malah, bisa pulang dan menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul enam
sore. Dia pun merasa punya banyak waktu buat keluarga. Mereka pun
bahagia.

Nah, dalam mengelola energi,POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0 prinsipnya bukan berapa banyak waktu
yang dihabiskan. Tetapi, berapa banyak energi yang dicurahkan dalam
mengerjakan sesuatu pekerjaan. Jadi, seorang yang bekerja dua jam
saja tetapi dengan energi 100%. Itu sama efektifnya dengan mereka
yang bekerja empat jam, tetapi hanya mempunyai energi 50%.

Artinya, lamanya waktu bekerja tidak selalu berbanding lurus dengan
produktivitas kerja. Waktu lama tidak identik dengan kerja produktif.

Karena itu, tantangannya adalah bagaimana dengan waktu terbatas,
orang mampu mengerjakan banyak hal sesuai target dan dikerjakan
dengan sebaik mungkin. Pada titik inilah, manajemen energi menjadi
penting. Orang mampu bekerja baik jika mempunyai energi yang
berlimpah. Bekerja dengan total energi, itulah kuncinya.

3 Tip penting
Ada tiga tip penting untuk mengelola energi ini. Hal ini
diinspirasikan dari jawaban atas pertanyaan yang banyak muncul dalam
workshop Kecerdasan Emosional yang saya fasilitasi. Yakni, pertama,
menghindari banyaknya kebocoran emosi. Kebocoran emosi terjadi bila
hati kita tinggal separuh saat mengerjakan tugas. Kita bekerja dengan
setengah hati. Inilah yang terjadi saat tubuh beraktivitas, tetapi
pikiran dan hati kita melayang ke tempat lain.

Akibatnya, kita tidak bisa fokus bekerja. Pekerjaan yang dikerjakan
dengan semangat setengah-setengah juga akan menghasilkan buah yang
setengah-setengah juga. Banyak eksekutif sukses karena kemampuan
mereka mengatasi kebocoran emosi ini. Mereka bekerja dengan hati,
pikiran, dan raga yang total 'hadir' berada di tempat dia bekerja.

Dalam pepatah Latin disebut Age Quod Agis, bekerja dengan totalitas
penuh!

Kedua, kemampuan untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Sifat menunda-
nunda pekerjaan (procrastination) merupakan kebiasaan yang bisa
menghabiskan banyak energi kerja kita.

Setelah ditunda, justru pekerjaan akan semakin susah diselesaikan.
Pekerjaan lain menyusul dan akhirnya menumpuk. Bahkan, orang yang
cenderung menunda pekerjaan justru akhirnya tidak mengerjakan apa-
apa.

Dalam bukunya Eat the Frog, Brian Trcay menyarankan justru pekerjaan
yang sulit (diibaratkan seperti katak paling besar dan jelek) yang
harus ditangani dulu, sehingga pekerjaan yang sulit menjadi lebih
mudah diselesaikan.

Kita dituntut mampu membuat prioritas pekerjaan. Semakin sulit dan
menyebalkan, sebaiknya ditangani dulu. Sebab kalau tidak, mungkin
akhirnya tidak akan pernah kita sentuh lagi.

Ketiga, tidak menunggu waktu yang tepat untuk memulai. Banyak orang
menunda dan mempersiapkan pekerjaan secara bertele-tele. Mereka
menunggu mood datang. Padahal datangnya mood tidak bisa ditebak.

Tidak ada waktu yang tepat selain memaksa untuk memulainya. Kalaupun
tidak merasa nyaman, mulailah dengan standar rendah dengan mencoba
membuat draft terlebih dahulu. Perlahan-lahan barulah dipoles menjadi
sempurna.

Kita belajar dari seorang penulis. Seorang penulis tidak bisa disebut
penulis jika tidak menulis. Tulisan tidak bakal jadi, jika tidak
mulai menulis. Penulis yang hanya menunggu mood, tidak akan produktif
menghasilkan tulisan. Harus ada disiplin.

Di sini, diperlukan sikap contra agere, melawan kencenderungan
negatif. Kalau cenderung menunda pekerjaan, lawanlah dengan
mengerjakannya dengan total.

Pembaca, alangkah nyamannya kalau dengan waktu yang relatif singkat,
kita mampu menyelesaikan banyak hal dari pekerjaan kita. Bayangkan
seandainya kita mampu mulai mengelola energi kita dengan baik.

Selain pekerjaan kita selesai, kita juga punya waktu untuk keluarga
dan kehidupan pribadi kita. Mengertikah Anda sekarang, mengapa
pengelolaan energi adalah pegelolaan atas kualitas hidup kita? Sekali
lagi, kualitas hidup Anda tergantung dari energi yang Anda kelola!

Sumber: Kelola Energi Anda! oleh Anthony Dio Martin

11 September 2007

Standart Islam

Standart Islam = 3 Generasi Terbaik (Shahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in)
Sabtu, 03 Maret 2007
Sebagai seorang muslim, kita memiliki aqad (janji) dengan Allah SWT bahwa kita setuju untuk mematuhi dan mentaati semua yang berasal dari Allah SWT yang disampaikan pada kita melalui Rasulullah Muhammad SAW berupa Al-Qur`an atau Sunnah (perkataan-perkataan dari Rasulullah SAW), mengambil keduanya sebagai sesuatu yang haq (sebagai kebenaran yang absolut), kebenaran yang diketahui melalui wahyu dan tidak melalui manusia meskipun manusia dapat juga membawa kebenaran. Hal ini penting untuk dipahami dengan memulai kebenaran yang ada dalam bentuk Al-Qur`an dan Sunnah yang tidak dapat dirubah atau diganti, jika standart kebenaran berasal dari manusia maka manusia dapat salah atau keliru dan membuka peluang untuk terkena bisikan syaithan atau dengan arti yang lain.

Standart Islam adalah standar dimana Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk mematuhi yang terdiri dari Islam sebagai jalan hidup orang-orang yang beriman, dalam perbuatan-perbuatan dan transaksi-transaksi sebagaimana pemahaman yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat utamanya secara terperinci beserta generasi-generasi yang mengikutinya yaitu generasi tabi’in dan tabi’it tabi’in. Secara keseluruhan generasi yang bisa kita ikuti adalah generasi shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang secara pemahaman mereka sebagai salafus saleh, pemahaman mereka adalah pemahaman yang salafiyah atau siapa saja yang mengikuti manhaj atau jalan hidup dari salafi. Mengapa Para Shahabat Yang Dijadikan Standar ?Para shahabat adalah shahabat–shahabat Rasulullah SAW dan mereka berbicara langsung dengan beliau. Meraka pandai atau fakih dalam semua pengetahuan tentang Islam yang berbahasa Arab. Mereka memiliki guru yang terbaik dalam mengajar yaitu Rasulullah SAW dan beliau memiliki pengajaran yang terbaik dari segala pengajaran atau pendidikan karena langsung dari Allah SWT, kita tidak bisa bertanya langsung pada Rasulullah SAW, tidak seperti shahabat Rasul, mereka telah belajar pedoman dari grammar bahasa Arab atau mereka telah cakap di dalam membaca dan menulis bahasa Arab sebagai standar pemahaman. Mereka kita gunakan sebagai pemahaman pengetahuan bagi kita berdasarkan tingkatan pemahaman shahabat bukan dengan tingkatan pemahaman yang lain. Sebagai contoh pada saat Rasulullah SAW, penulisan Arab tidak memasukkan tanqit (tanda titik), tidak juga tashkil (harokat) seperti pada huruf daal (…) dan zaal (…) bisa terlihat sama. Mirip kedudukan bahasa Arab seperti pengetahuan-pengetahuan atau pemahaman Islam lainnya yang harus berlandaskan atas shahabat–shahabat Rasul yang mana merupakan bagian atau bidang dari sikap dan perilaku mereka, dalam membaca, memahami teks tanpa membuat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, semua yang datang setelah itu yang berusaha memandangi mereka (para shahabat), dalam hal ini, standar dan prinsip-prinsip mereka banyak menyimpang, dusta/kebohongan sehingga tidak bisa kita jadikan standar dalam memahami Islam. Bahasa Arab adalah bahasa yang diperlukan untuk mamahami hadits-hadits sebagaimana pemahaman Islam yang lain, kedudukannya sama yakni berasal dari khasanah pengetahuan Islam. Untuk semua topik-topik dalam Islam kita harus mencontoh Rasulullah SAW dan shahabat –shahabat-nya. Jika kita telah menjadikan dasar perbuatan kita atas dasar standar ini, maka bisa dikatakan bahwa kita telah melakukan Al-Ittiba’ atau telah mengikuti Rasulullah SAW dan para shahabat. Ittiba’ ini tidak hanya dibatasi mengikuti generasi pertama yang termasuk diantaranya tabi’in dan tabi’it tabi’in tapi juga mengikuti dan mendukung ulama-ulama yang masih berdiri dan mengikuti standar ini hingga hari ini. Dalil Untuk Mengikuti Shahabat Nahjus Salaf (Jalannya Salafus Sholeh) meliputi permasalahan aqidah (keimanan), amal (perbuatan) dan Minhaj (metode) dan sekarang kita akan terangkan secara jelas sumber-sumbernya yang berasal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana yang Allah SWT perintahkan kepada kaum muslimin untuk mengikuti shahabat dan mengikuti pemahaman mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`anul Karim bahwa kita harus mengikuti iman dari Rasulullah SAW dan shahabat–shahabatnya sebagai suatu kewajiban.“ Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqoroh : 137)Secara bahasa, dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata dalam bentuk yang plural (jamak) untuk kata ‘iman’ , ‘amantum’ mengindikasikan bukan hanya Rasulullah Muhammad SAW tetapi juga menunjukkan atas siapa saja yang beriman dengannya seperti para shahabat. Perluasan makna ini lebih lanjut dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa Qotadah, Ibnu Abas dan Ibnu Mas’ud berkata bahwa “ Maka jika mereka beriman kepada apa yang yang kamu telah beriman kepadanya …..” artinya jika orang-orang beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah SAW dan shahabat–shahabatnya beriman ……”Berkenaan dengan pengertian dari shahabat–shahabat Rasulullah, secara jelas dalam keterangan lain disebutkan bahwa : “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan pada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa “ (QS Al-Fath, 48 : 26)Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa, kalimat tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa Allah telah mewjibkan kepada para shahabat kalimat taqwa. Kata tersebut ada dalam bentuk jamak (plural) yang mengindikasikan bahwa yang dimaksudkan itu adalah keduanya yaitu Rasulullah SAW dan shahabat-shahabatnya, lebih lanjut Ibnu Abbas memperinci dalam tafsirnya beliau menjelaskan : “ Kalimat taqwa adalah tauhid dan wahyu Allah”. Lanjutan dari ayat tersebut berbunyi :“dan adalah mereka berhak dengan kalimat itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu” Dalam tafsir Imam Qurtubi, dilaporkan dari Qotadah dan Al Bara’ Ibn Aziz bahwa Al-Kalimatu Taqwa adalah laa ilaaha ilallah seperti dalam ikrar dari keimanan. Dilaporkan juga dari Ibnu Abbas dan Qotadah bahwa sakinah dalam ayat ini berarti wahyu, yang dapat dilihat dari ketenangan yang ada pada diri Rasulullah SAW dan lawan dari kesombongan (yang ada pada diri orang-orang kafir).Dalam Islam secara makna, statement Kalimatu-Taqwa memiliki beberapa arti, yaitu : 1. Laa ilaaha ilallah – kalimat syahadat atau ikrar keimanan, yang akan dijelaskan lebih lanjut. 2. Dilaporkan dalam Said bin Jubair dan Dahaaq menunjukkan atas Urwatil Wutsqa sebagai kalimat taqwa sebagaimana dalam ayat di bawah ini “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “ (QS. Al Baqarah, 2:56) 3. Kalimat Taqwa berarti kalimat kalimat toyyibah, seperti disebutkan dalam ayat, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit “ (QS. Ibrahim, 14 : 24) 4. Kalimat taqwa juga ditemukan dalam arti Al-Qaul Al-Thaabit, sebagaimana firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu” (QS. Ibrahim, 14:27)Di dalam shahih Bukhari, dinyatakan oleh Al Bara Ibnu Azib tentang tafsir ayat ini bahwa Rasulallah bersabda : “Ketika seorang muslim ditanya dalam alam kubur, maka dia akan memberikan kesaksian bahwa tidak ada satupun yang layak untuk diibadahi kecuali Allah dan Muhammad sebagai utusannya” dan pernyataan ini adalah Qoul al thaabit “.Lanjutan surat Al-Fath, “ Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu akan memasuki masjidil haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkannya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus diatas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjadikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang soleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar “. (QS Al-Fath, 48:27-29)Dalam ayat ini, Allah lebih lanjut menjelaskan tentang status dan sifat dari para shahabat seperti dalam lafadz “ keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka …” kemudian Allah SWT menegaskan keunggulan dan keistimewaan dan ketulusan ibadah mereka dalam firman-Nya. “Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…”Dalam ayat tersebut Allah telah menjelaskan kepada kita tentang tingkat keimanan shahabat dan kebaikan-kebaikan perbuatan mereka serta membenarkan perbuatan mereka. Kebenaran dan kedudukan penting shahabat serta contoh-contohnya disebutkan tidak hanya dalam Al-Qur`an akan tetapi juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah dan berita dari orang-orang sebelum kita. “ "Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil… "Beberapa negara sebelum datangnya Rasulullah s""udah tahu tentang shahabat melalui kitab Injil mereka. Oleh karena itu, ketika Umar bin Khothob r.a. masuk ke kota Yerussalem, orang-orang Nasrani langsung menyerahkan kota tersebut ke tangan kaum Muslimin, walaupun tidak memberikan kunci Bait-Al- Maqdis kepada siapapun kecuali seseorang yang kemudian memberikan ramalan sesuai sebagaimana yang dirinci dalam kitab Injil mereka.“Seorang rasul telah diutus di penghujung waktu yang memiliki kemurahan hati, pemimpin mereka menuntun untanya ditemani pembantunya dan dia memakai potongan pada bajunya. Dia adalah manusia yang menegakkan kebenaran dan memperjuangkan kalimat tauhid, ia berjalan dengan kaki telanjang, akan tetapi memiliki kelapangan hati yang besar dan berbicara dengan pandangan mata yang tajam dan memiliki beberapa tanda, ia menangis pada saat sholat yang terlihat pada wajahnya dan ia berbicara dengan suara lantang dan berkata : kebenaran akan menang, ini hanya persoalan waktu, berikan kepadaku kunci !” Sesungguhnya ketika orang-orang Yerussalem melihat Umar bin Khothob dari kejauhan mereka menangis dan memberikan kepadanya kunci sebab pendeta mereka mengakuinya dan berkata bahwa, “Sesungguhnya dia itu adalah salah satu seorang yang disebutkan dalam kitab Injil mereka”. Kelanjutan Tentang dukungan yang Datang Dari Shahabat Kita telah diberitahukan beberapa keterangan tentang shahabat dimana Allah telah menyebutkan bahwa Rasulullah dengan shahabatnya adalah orang –orang yang beriman dan sebagian golongan orang–orang yang memperjuangkan kalimat taqwa. Kita sekarang akan diberitahu kejelasan hal tersebut dalam firman Allah yang secara langsung yang menjadikan kita terikat untuk mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat dan jalan mereka yang mengikutinya. Allah SWT berfirman :” Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-Nya. Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya,(mereka mengatakan)“kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya dan mereka mengatakan “kami dengan taat” (mereka berdo’a) “Ampunilah kami ya tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali “. (QS Al-Baqarah, 2 : 285) Ayat ini menunjukkan akan keberadaan shahabat yang ada dalam keyakinan atau keimanan seperti dari Rasulullah sendiri. Oleh karena itu jika kita mengikuti keimanan shahabat maka kita akan memiliki keimanan yang seperti Rasulullah Muhammad SAW. “dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa yang lain selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS An Nisaa’ ,4:114-115) Ayat ini bermanifestasi bahwa Allah memerintahkan untuk mengikuti jalan dari para shahabat atau keutamaan yang dimiliki oleh shahabat, secara fakta siapa saja yang menentang Rasulullah sebagai rasulnya sendiri maka tindakan ini diserupakan kekufuran (seperti orang-orang yang tidak beriman). Jadi kita harus mengikuti perintah Allah yang keduanya berbentuk keimanan terhadap shahabat adalah sama dengan keimanan terhadap Rasulullah dan bagian kehidupan mereka ada dalam keimanan dan perbuatan-perbuatan mereka adalah juga bagian kehidupan Rasulullah. Dalam ayat Al Qur`an yang lain sering disebutkan tentang keistimewaan dari shahabat dan bentuk jamak atau kelompok, kedudukan mereka satu sama lain sebagai akibat dari prestasi keimanan yang telah mereka capai, sebagaimana firman Allah SWT : “ Orang–orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang –orang Muhajirin dan Anshor dan orang–orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. (QS. At Taubah,9:100). Dalam ayat ini, Allah SWT tidak hanya mengatakan tentang keridhoannya dengan golongan dari orang–orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam diantara orang Muhajirin dan Anshor tetapi Allah juga mengatakan akan keridhoannya dengan orang–orang yang mengikuti jalan mereka baik dalam keimanan mereka, perbuatan mereka dan metode mereka sebagai konsekuensi atas amal sholeh mereka maka Allah menjanjikan kepada 2 golongan tersebut (Golongan shahabat dan orang–orang yang mengikutinya) yaitu mereka akan mewarisi surga. Dalam ayat yang lain Allah SWT membuat keterangan-keterangan dengan menyebutkan shahabat sebagai golongan orang–orang yang memberikan baitul aqabah. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang–orang ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (QS. Fath, 48:18). Disini Allah memberi kesaksian atas apa yang ada dalam hati mereka (para shahabat) dan tujuan hidup mereka adalah kita atau dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari generasi pertengahan setelah generasi shahabat, mereka berbuat kebajikan semata-mata karena beberapa tuntutan seperti karena martabat atau jabatan dan bayaran, siapakah diantara generasi kita yang sudah dapat jaminan beraktivitas ibadah benar-benar murni karena Allah , bukan karena jaminan dan bayaran ? Apakah jika fakta mayoritas masyarakat sekarang tidak mengikuti jalan shahabat kita juga harus mengikutinya?Sayang sekali, pertanyaan ini adalah yang sering dan umum timbul ditengah-tengah masyarakat saat ini dimana masyarakat menilai kebenaran dengan jumlah banyak sedikitnya fakta yang ada. Jika banyak masyarakat mengikuti secara pasti ide, aqidah, atau manhaj (para shahabat) kemudian mereka mengalami kegagalan, maka akan dijadikan kebenaran terhadap diri seseorang yang mengambil suara mayoritas sebagai standar kebenaran. Berikutnya hal tersebut menjadikan orang–orang yang mengikuti manhaj yang benar sedikit jumlahnya terlepas dari apakah mereka memiliki bukti yang kuat atau tidak. Secara otomatis dalam pandangan masyarakat nilai kebenaran tersebut menjadi rendah. Prinsip suara mayoritas adalah benar merupakan suatu prinsip yang tidak Islami yang mana hal tersebut berasal dari keburukan konsep demokrasi dan akibat propaganda demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui media. Di dalam Islam konsep tersebut tidak diakui, labih lanjut Allah SWT menginformasikan kepada kita bahwa konsep tersebut harus dilawan atau diperangi seperti konsep standar kebenaran adalah suara mayoritas dan fakta yang bathil dan dusta belaka! Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang–orang yang dimuka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta kepada Allah “ (QS. Al An’am, 6:116). Ditambah lagi dalam firman Allah SWT : “Dan sebagian besar manusia tidak beriman walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf, 12:103). Di dalam Islam, kebenaran adalah kebenaran meskipun kamu hanya seorang saja atau sendirian, ada dalam jumlah yang kecil atau sedikit, sumber ini dikutip dalam kitabnya Imam Turmudzi vol. 4 p:467 dalam kitab Miskhat al masabih vol. 1 p:61 dan disumberkan dalam Al Imam al-Lailikai dalam bukunya Syarah Ushul Al-Itiqaad dalam 1 p:22 bahwa Abdullah ibn Mas’ud r.a. menceritakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jamaah (orang–orang yang mengikuti Rasulullah dan shahabat ) adalah orang–orang yang ada dalam kebenaran meskipun kamu hanya seorang diri saja.”Disampaikan dalam kitab Majmu’ Imam Nawawi, vol. 8 p:275 Imam Suyhuti dalam buku “Perintah untuk mengikuti dan larangan untuk mengikuti sesuatu yang benar”, p:152 dan Imam Saatibi dalam bukunya : “Da’a ila Sunnan”, vol 1 p:83 dalam riwayat dari Al Fudail bin Iyaadh bahwa Rasulullah bersabda:“Ikutilah jalan dari petunjukku meskipun sedikit orang yang mengikutinya dan hindarilah jalan dari kebinasaan dan penyimpangan (dari jalanku) meskipun banyak orang yang mengikutinya.” Diceritakan dalam kitab Imamul Aajiris, yaitu “Syari’ah” p.58 dan Khatib al Bagdadi dalam pendapatnya tentang imbalan atas orang–orang Ahlul Hadist ; p. 26 bahwa Imam Uza’i (juga dikenal sebagai Imam Shaafi’i yang kedua) berkata:“Ikutilah jalan orang–orang Salaf meskipun orang–orang mengejek kamu dan berhati-hatilah terhadap pendapat seseorang meskipun mereka mengagungkan pendapat-pendapat dengan mengatasnamakan mereka orang–orang Salaf melalui ucapan-ucapannya sendiri. Dan akan selalu menjadi orang–orang yang bergembira atau beruntung dan selamat ketika melakukan pembenaran terhadap jalan (orang –orang salaf.”. Shamsuddin Ibnu Qoyyim dalam “I’lam Al-Muwaqi’in”, vol. 3 p. 398 bercerita tentang Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkata:“Sadarlah bahwa Al-ijma’ (shahabat) dan perkataan-perkataan shahabat adalah sesuatu yang terikat atas landasan pengetahuan (Islam) yang barangsiapa mengikutinya berarti telah mengikuti kebenaran meskipun mereka hanya sendirian dan bahkan banyak seseorang yang selalu menunjukkan dan berjalan pada kebenaran maka kamu akan merasa bahwa tidak akan merasa sendiri. Akan tetapi kamu akan merasakaan rasa kekeluargaan dengannya dan tidak akan pernah hilang sesuatupun ketika kamu berteman dengannya.” Na’im Ibn Hamad Al-Ash’ari, salah seorang Sheikh dari Abu Hanifah (ra) berkata: “Jama’ah adalah apa-apa yang ada dalam kerangka keta’atan kepada Allah. Setiap orang akan menjadi fasiq tatkala mengikuti standar jama’ah yang berdiri di atas sesuatu yang menyimpang (dari keta’atan kepada Allah). Meskipun kamu hanya seorang maka ikutilah jama’ah yang sesuai dengan kerangka keta’atan pada Allah .”

07 September 2007

Orang kaya sebaiknya ingat gentong nya

Bila anda mengambil air dalam gentong, hampir pasti tanpa biaya, tinggal ambil kapan pun juga, hanya konsekuensinya belum dimasak, terasa tawar, dan mungkin anda tidak dengan mudah bisa menemukan gentong.
Beda dengan air dalam teko yang sudah berujud teh, kopi hangat, es sirup, jahe, dan sebagainya. Rasanya enak, siap diminum, hangat, dimana-mana dapat dengan mudah dicari. Tapi anda harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Kalo di warung-warung bisa jadi lebih murah. Tapi kalau anda menimbanya di hotel berbintang, wajar kalau anda juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit.
Terlebih lagi kalau ‘teko’ ini sudah tertempeli brand tertentu, yang kemudian menjadi sebuah tuntutan orang-orang akan kebutuhan brand tertentu. Walaupun teh merk A sampai merk B sama rasanya, tapi ketika merk A jauh lebih terkenal, maka orang yang mampu membeli merk A tetap akan berduyun duyun untuk mendapatkan ilmu dari merk A, walaupun kalau digagas-gagas ilmu itu menyampaikan ide yang sama.
Tapi ada yang menarik di sini. Seperti analogi di atas, bagaimana pun juga ceret tetap selalu butuh akan keberadaan gentong. Karena bagaimana pun juga air dalam gentong adalah sumber dari mana air dalam ceret berasal.
Inilah maksud dari apa yang akan saya sampaikan. Pengertian ceret mungkin bisa saya perluas tidak hanya kepada orang yang menyampaikan ilmunya saja, tapi juga sampai kepada orang-orang yang bisa mengamalkan ilmunya sehingga bermanfaat bagi orang banyak. Terlebih lagi bila ilmunya itu bisa membuat apa yang dia peroleh (uang, pendapatan, privilege, pengakuan, dsb) menjadi meningkat.
Sehingga pengertian ceret, tidak hanya sampai kepada para bapak-bapak trainer yang saya contohkan di atas, tapi lebih jauh lagi bisa sampai kepada para pengusaha sukser, artis-artis sukses, orang yang berhasil dalam karirnya, orang yang sukses dengan profesinya. Karena mereka semua toh mendapatkan semua itu atas ilmu atau kepandaian yang mereka miliki. Sehingga pengamalan ilmunya, entah itu dalam bentuk mengajar, memimpin perusahaan, melakukan profesinya, tak ubahnya seperti air yang keluar dari teko atau ceret.
Bapak-bapak ceret ini, bagaimana pun juga sadar atau tidak sadar, bila dia tetap selalu ingin agar air ceretnya selalu dapat dinikmati banyak orang, sebagian agenda hidupnya akan terisi untuk mencari para gentong-gentong. Entah bisa ketemu langsung orangnya, mencari bukunya, menggagas makna-makna dari teori yang ditinggalkannya.
Sehingga, ..saya tidak tahu lagiPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0 bagaimana cara mengungkapkannya secara mudah, tapi ungkapan sebenarnya mungkin bisa saya sampaikan,.. sebaiknya orang kaya selalu ingat gentongnya. Karena mungkin karena gentongnya-lah, kita-kita para ceret bisa menikmati apa yang kita peroleh saat ini.[pa]
30 Juni 2007
Pitoyo Amrih

06 September 2007

Jangan Abaikan Sinyal Tubuh

Jangan Abaikan Sinyal Tubuh
Jawaban - Anda pasti pernah mengalami kedutan, cegukan, atau telinga berdenging. Sayangnya, sebagian besar dari anda seringkali mengabaikan tanda-tanda tubuh tersebut. Padahal menurut Dr. Karen Wolfe, penulis buku "Create The Body Your Soul Desires", mengatakan bahwa tubuh yang mengalami
kedutan atau cegukan bisa menjadi pertanda bahwa tubuh anda sedang mengalami gangguan ringan. Namun meskipun gangguan tersebut tergolong ringan, tidak berarti anda harus mengabaikannya. Sebab, dengan memahami sinyal yang diberikan oleh tubuh diharapkan anda dapat lebih peduli pada tubuh sehingga tubuh menjadi lebih sehat.
Kedutan Pada Kelopak Mata
Gerakan tak sadar yang diberikan oleh bagian tubuh anda ini menandakan bahwa tubuh anda kurang beristirahat dan tidur. Bahkan para ahli kesehatan
sepakat, 99% kekejangan pada mata disebabkan karena tubuh anda didera stress dan lelah yang amat sangat. Tidak ada cara lain yang bisa anda lakukan untuk menghentikan kedutan pada mata ini selain membiarkan tubuh dan mata anda untuk beristirahat. Mengompres mata anda dengan air hangat untuk beberapa saat juga sangat membantu.
Menguap Terus
Menguap tidak selalu berarti mengantuk. Menguap, juga merupakan sinyal dari alam bawah sadar anda bahwa tubuh anda kurang bergerak. Misalya, anda
terlalu serius bekerja sehingga menghabiskan lebih dari 5 jam duduk di depan komputer. Terlalu banyak menguap bisa juga berarti bahwa oksien di dalam otak anda sedang menurun jumlahnya. Hati-hati, kondisi ini bisa menurunkan tingkat kewaspadaan serta konsentrasi anda terhadap pekerjaan dan lingkungan di sekitar anda.
Cegukan
Anda cegukan padahal anda tidak sedang makan apapun. Kondisi ini menjadi sinyal bahwa tubuh anda sedang mengalami stress. Hal ini karena cegukan melepaskan hormon stress ke dalam aliran darah, kemudian merangsang serat syaraf secara berlebihan. Akibatnya, terjadi kontraksi otot tak sadar yang
terletak di dekat pita suara hingga menimbulkan bunyi. Cara termudah untuk
meredakan cegukan anda adalah dengan cara menelan sedikit gula pasir.
Butiran gula pasir akan menstimulir ujung saraf di balik kerongkongan sehingga menghambat impuls syaraf lainnya, sehingga cegukan pun reda.
Kaki Kram
Apakah anda sering mengalami kaki kram secara intens setiap malam? Kram kaki merupakan sinyal tubuh yang mengisyaratkan bahwa tubuh anda sedang mengalami dehidrasi, kekurangan kalsium dan magnesium. Untuk mengatasinya, minumlah air putih lebih banyak dariPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0 biasanya. Susu kalsium juga sangat disarankan

Teknologi membuat semua orang yang saya kenal

Teknologi membuat semua orang yang saya kenal
bekerja lebih keras dan lebih lama.
– Wareen Bennis
”Apa arti kerja keras bagi Anda?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Kerja keras berarti datang ke tempat kerja paling pagi dan pulang paling malam, tapi tetap sehat dan optimis” jawab Didi yang pengusaha.
”Kerja yang mengandalkan kekuatan diri sendiri, terutama yang bersifat fisik, untuk mencapai suatu tujuan atau hasil yang diinginkan,” ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.
”Kerja keras itu wajib untuk mencapai hasil maksimal,” jawab Wawan yang tentara.
”Cara kerja yang harus dilalui sebelum orang mampu bekerja dengan cerdas dan kreatif. Orang tidak bisa menemukan cara-cara cerdas bila ia belum pernah bekerja keras,” urai Agung yang pegawai.

Pernahkah Anda menghitung, berapa jam biasanya waktu yang Anda pergunakan untuk bekerja mencari nafkah hidup dalam seminggu? Jawabannya mungkin akan bervariasi, tergantung pada jenis pekerjaan atau profesi yang Anda jalankan. Coba bayangkan profesi-profesi berikut: pengacara, dokter, notaris, pilot, hakim, jaksa, petani, pedagang, manajer/ekskutif, konsultan, model iklan, pemain film dan sinetron. Manakah diantara mereka yang menurut Anda bekerja paling keras untuk menafkahi hidupnya? Bagaimana dengan pegawai swasta dan pegawai negeri pada umumnya? Siapakah yang jam kerja rata-rata per minggunya paling panjang? Bagaimana dengan pengajar sekolah, buruh-buruh pabrik, kuli angkut, dan pekerja di pusat-pusat pembelanjaan modern yang baru pulang setelah pukul 9 malam? Manakah yang paling banyak mengucurkan keringat?
Ada asumsi bahwa orang-orang yang harus bekerja lebih dari 45 jam per minggu adalah kaum pekerja kasar yang tak terpelajar. Jam kerja mereka panjang, dan proses kerjanya lebih mengandalkan keterampilan fisik/otot, sehingga upahnya serba minimum. Mereka yang terpelajar, kaum profesional dan para sarjana lulusan universitas terkemuka yang menjadi manajer-manajer di usia belia, adalah orang-orang yang seharusnya memiliki waktu kerja pendek karena mampu bekerja dengan lebih cerdas. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat mengagumkan dalam satu dekade terakhir, kelompok terpelajar yang bekerja mengandalkan otak diasumsikan akan memerlukan waktu kerja yang relatif minimum, kurang dari 40 jam per minggu. Sebab, bukankah orang-orang yang cerdas dengan perangkat teknologi mutakhir seharusnya tidak perlu bekerja keras seperti nenek moyang mereka (dan kita) dulu?
Masalahnya, di sekolah kehidupan kita kemudian menyaksikan kenyataan yang lain. Seperti dilaporkan BusinessWeek edisi Oktober 2005 lalu, dalam konteks Amerika jumlah para ”budak kerja” itu cukup mencengangkan. Lebih dari 31% pekerja pria lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat lazim bekerja 50 jam atau lebih dalam sepekan di kantor, naik dari 22% di tahun 1980, ketika teknologi informasi belum canggih seperti dewasa ini. National Sleep Fondation melaporkan bahwa sekitar 40% orang dewasa Amerika tidur kurang dari 7 jam pada hari kerja. Padahal sejak 1926 Henry Ford telah mempelopori lima hari kerja dalam sepekan, dan sejak 1970 di Amerika berlaku waktu kerja 40 jam seminggu. Lalu bagaimana menjelaskan kecenderungan pekerja terpelajar Amerika dewasa ini yang malah menghabiskan waktu kerja seperti para buruh pabrik di abad ke-19, yang rata-rata bekerja 60 jam per minggu?

Pekerja Amerika tidak sendirian. Di Cina, para manajer senior dengan pendapatan $ 2.000 AS ---dengan kurs Rp 9.500,- berarti Rp 19 juta---sebulan umumnya bekerja 6o jam, enam hari seminggu. Meski sekitar 20 jam diantaranya terhitung lembur, tapi mereka tidak mendapatkan upah tambahan dari kerja ekstra itu. Umumnya, kaum pekerja keras itu mengaku tak punya pilihan kecuali lembur dan menganggap hal itu memang sudah menjadi tugas mereka, sehingga memang tidak perlu upah tambahan. Disebutkan bahwa sedikitnya di tiga kota Cina, 51% orang yang lembur selama hari kerja tak mendapat upah tambahan---suatu hal yang tidak terjadi pada rekan-rekan mereka di Jepang dan Korea Selatan. Pada hal UU Ketenagakerjaan di Cina telah menetapkan jam kerja 44 jam seminggu, dalam lima hari kerja, dengan cuti tahunan dua minggu, hari libur rutin, dan upah lembur minimal satu setengah kali upah normal. Kenyataannya peraturan semacam itu tak mampu membendung tumbuhnya kelompok ”budak kerja” di negeri tirai bambu tersebut. Hanya pegawai negeri saja, seperti pengajar sekolah, yang menghabiskan waktu kerja 40 jam seminggu dengan penghasilan sekitar $ 200 AS sebulannya.
Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah laporan tentang jumlah jam kerja wanita karier di Amerika dan Eropa yang diwakili oleh 15 negara Uni Eropa. Pada tahun 1984, di Amerika sekitar 58% wanita karier yang menghabiskan waktu kerja lebih dari 40 jam seminggu. Jumlahnya meningkat di tahun 2004 menjadi sekitar 62%. Sementara di Eropa, hanya sekitar 36% wanita karier yang menghabiskan waktu kerja di atas 40 jam seminggu, tahun 1984. Dan di tahun 2004 jumlahnya turun menjadi sekitar 29%. Apakah itu berarti wanita karier di Amerika bekerja semakin keras hari-hari ini, sementara rekan-rekan mereka di Eropa lebih punya waktu untuk hal lain di luar pekerjaan? Tak ada penjelasan lebih lanjut soal hal ini. Yang jelas, dalam sebuah wawancara, perempuan Amerika yang cerdas dan fenomenal Oprah Winfrey pernah mengaku bahwa ia biasa bekerja 14-15 jam sehari, dan bila hanya bekerja 12 jam sehari, ia merasa ada sesuatu yang kurang hari itu.
Pemaparan data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa tidaklah benar asumsi yang mengatakan bahwa hanya orang yang tidak bergelar dan bodoh saja yang dituntut bekerja keras menafkahi hidupnya. Kenyataannya, orang-orang yang paling terpelajar di negeri yang maju seperti Amerika, maupun yang bermukim di negeri berkembang macam Cina, justru tetap bekerja keras untuk menafkahi hidupnya. Asumsi yang mengatakan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi kaum pekerja akan lebih santai dalam melakukan pekerjaannya juga patut digugat kembali. Sebab kenyataannya para sarjana yang paling melek dan menguasai teknologi informasi mutakhir saja tidak bekerja lebih santai dibanding orang-orang yang relatif buta teknologi informasi.
Jadi, bekerja keras dalam arti bekerja lebih lama dari aturan kerja yang berlaku secara formal---misalnya, lima hari kerja, 40 jam seminggu---dengan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup sehari-hari, agaknya sudah menjadi kecenderungan yang sulit dibendung. Semakin banyak pekerja merasa memang begitulah seharusnya, terutama ketika mereka menginginkan karier dan kehidupan yang lebih baik. Kerja keras seolah-olah menjadi jalan satu-satunya. Hal ini tentu tidak terlalu perlu dipersoalkan jika kita memiliki pekerjaan yang kita senangi, pekerja yang sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita, dan pekerjaan yang memberikan hasil-hasil terbaik, baik kepada kita maupun kepada masyarakat dan lingkungan dimana kita mengabdi. Seperti Oprah Winfrey yang menemukan ”tempatnya” yang unik di dunia ini, ia mungkin melakukan pekerjaannya tanpa merasa ”bekerja”.
Masalahnya, bagaimana jika pekerjaan yang kita miliki saat ini bukanlah pekerjaan yang kita inginkan? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita miliki saat ini adalah pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita? Bagaimana kalau pekerjaan kita saat ini adalah pekerjaan yang tidak menumbuhkan rasa bangga dalam diri kita? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita tekuni saat ini adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih? Terhadap empat pertanyaan terakhir ini saya akan menjawab dengan satu pertanyaan berikut: sampai kapan Anda bersedia bekerja keras untuk jenis pekerjaaan seburuk itu?
Tabik Mahardika!

Berhati Pelayan

Tanpa kepemimpinan, organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani,” demikian, antara lain, pesan John P. Kotter dan James E. Heskett dalam Corporate Culture and Performance (1992). Kalimat pendek itu menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat antara kepemimpinan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran dan/atau diktator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu dipastikan bahwa ia memiliki hati yang senang melayani.
Kotter dan Heskett tidak mengajarkan hal yang sama sekali baru. Sebab bila kita mempelajari dengan seksama berbagai konsep kepemimpinan yang berkembang dalam 50 tahun terakhir, maka akan kita temukan bahwa konsep kepemimpinan yang melayani pernah digagas secara lebih mendalam oleh almarhum Robert K. Greenleaf, mantan eksekutif AT&T dan dosen di berbagai universitas terkemuka seperti MIT dan Harvard Business School, yang juga peneliti dan konsultan terkenal di Amerika. Dalam salah satu karya terbaiknya yang bertajuk Servant Leadership (1977) ––sebuah karya yang mendapat sambutan hangat dan pujian tokoh-tokoh sekaliber Scott Peck, Max De Pree, Peter Senge, Warren Bennis, dan Danah Zohar–– Greenleaf antara lain mengatakan, “… the great leader is seen as servant first, and that simple fact is the key to his greatness”. Perhatikan bahwa Greenleaf menekankan “servant first” dan bukan “leader first”. Seorang pemimpin biasa menjadi pemimpin besar dengan cara melihat dirinya pertama-tama dan terutama sebagai pelayan dan bukan pemimpin. Ia pemimpin juga, tentu. Namun hatinya terutama dipenuhi oleh hasrat melayani konstituennya, melayani pengikutnya, melayani publik atau rakyat yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistik dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.
Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama Islam dan Kristiani, namun mungkin juga Hindu, Konfusianisme, maupun Buddhisme. Tak seorang pun di antara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0en yang mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material. Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka melayani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri mereka sebagai “pelayan”, khususnya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu, entah sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei atau apa pun.

Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan milenium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir arena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang nyata). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pasca modern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia (meminjam uraian Yasraf Amir Piliang di Kompas, 13/12/2001; hlm.4-5) sebagai the idiological man-nya Orde Lama, the mechanistic man-nya Orde Baru, fragmented man-nya Orde Reformasi, selfish man-nya Hobbes, man of commodity-nya Marx, maupun man of nature-nya Rousseau, atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yang ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.
Kembali ke Ordo Creatio
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acapkali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi Barat maupun Timur, pemimpin seringkali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta terendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “obyek”. Pandangan ini “berhasil’ melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Namun dewasa ini pandangan yang demikian telah kehilangan argumentasi untuk dapat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadaran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, agama, suku, warna kulit, “barat”, “timur”, dsb).
Jika benar demikian, maka dalam konteks kepemimpinan kita perlu “mengaudit” kembali “citra diri” (self image) para pemimpin kita. Kita harus menolak siapa saja yang mempersepsi dirinya sebagai “manusia unggul”, “manusia superior”, manusia yang merasa “can do no wrong”. Sebaliknya, kita perlu mencari mereka yang menerima hierarki ordo creatio yang menempatkan ditempat tertinggi hanya Allah semata, yang menempatkan manusia ditempat kedua sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei, dan yang menempatkan ditempat ketiga alam semesta sebagai sumberdaya yang harus dikelola secara arif dan bertanggung jawab. Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pemimpin (dengan P besar). Manusia adalah ciptaan yang dicipta dengan potensi daya cipta (creative creature) yang memungkinkan ia menjadi pemimpin (dengan p kecil). Dan alam semesta diciptakan bagi manusia agar manusia itu menjadi manusiawi dengan bertakwa kepada Sang Pemimpin semata.
Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama ciptaan menempatkan semua manusia sebagai mahluk yang harus mempertanggungjawabkan setiap kata dan perbuatannya kepada Sang Pencipta dan Sang Pemimpin. Dan kesadaran yang demikian hanya mungkin muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang menuntun akal budi, dan baik hati nurani maupun akal budi itulah yang pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh manusiawi.

Loyalitas

Loyalitas adalah hadiah dari kontituen kepada pemimpin,
yang diberikan secara sukarela, karena integritas sang pemimpin.
“Anda tidak dapat membangun loyalitas secara terfragmentasi, gaya sekali tembak, dan tidak cukup terfokus pada upaya perbaikan pelayanan 1-2 departemen atau fungsi. Setiap orang ––setiap orang!–– harus menjadi bagian dari solusi, Jika tidak, mereka malah menjadi bagian dari masalah,” demikian tulis Dennis McCarthy dalam The Loyalty Link – How Loyal Employee Creat Loyal Customers (1997). McCarthy juga berusaha meyakinkan bahwa, “Bukti secara tidak langsung mengungkapkan adanya korelasi antara loyalitas konsumen dan loyalitas pegawai. Yaitu, makin tinggi kepuasan konsumen, makin rendah turnover pegawai.”
Salah satu biang kerok utama yang menyebabkan merosotnya loyalitas dalam perusahaan, setidaknya menurut James Kouzes, CEO Tom Peters Group, adalah pegawai tidak mempercayai manajemen dalam memenuhi apa yang dikatakannya atau menerapkan apa yang telah diprakarsainya. Dengan kata lain, manajemen tidak dipercayai oleh konstituennya karena antara kata-kata dan tindakan terdapat jurang pemisah yang lebar dan dalam. Konstituen membenci atau sekurang-kurangnya tidak dapat menerima orang yang munafik menjadi pemimpin mereka.
Pada titik ini kita melihat bahwa masalah loyalitas berkaitan langsung dengan integritas. Integritas, yang berasal dari kata Latin integer (arti harafiahnya adalah utuh, lengkap, tidak terfragmentasi), hanya dapat dibangun lewat kejujuran (honesty) yang diekspresikan lewat kata-kata dan tindakan selaras. Dan integritas serta kejujuran itu pertama-tama dan terutama diharapkan dari manajemen dan eksekutif perusahaan atau dari siapa saja yang menduduki jabatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi (termasuk organisasi politik dan lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara). Bila para pemimpin mendemonstrasikan integritas dan menunjukkan kejujuran, maka para konstituennya (termasuk pegawai, konsumen, pemasok, dan stakeholder lainnya) tidak ragu untuk bersikap loyal atau setia (faithful). Hal ini didukung, antara lain, oleh hasil studi Kouzes dan Posner (Credibility, 1993) yang menunjukkan bahwa 4 hal pertama dan terutama yang menjadi karakteristik pemimpin yang dikagumi (admired leaders) di dunia bisnis maupun politik adalah honesty (kejujuran), diikuti dengan forward looking (visi jauh ke depan), inspiring, dan competent.

Pedagang VS Nelayan

Suatu hari, seorang pedagang kaya datang berlibur ke sebuah pulau yang masih asri. Saat merasa bosan, dia berjalan-jalan keluar dari vila tempat dia menginap dan menyusuri tepian pantai. Terlihat di sebuah dinding karang seseorang sedang memancing. Dia menghampiri sambil menyapa, "Sedang memancing ya pak?"
Sambil menoleh si nelayan menjawab, "Benar tuan. Mancing satu-dua ikan untuk makan malam keluarga kami."
"Kenapa cuma satu-dua ikan, Pak? Kan banyak ikan di laut ini, kalau Bapak mau sedikit lebih lama duduk di sini, tiga-empat ekor ikan pasti dapat kan?"
Kata si pedagang yang menilai si nelayan sebagai orang malas. "Apa gunanya buat saya ?" tanya si nelayan keheranan.
"Satu-dua ekor disantap keluarga Bapak, sisanya kan bisa dijual. Hasil penjualan ikan bisa ditabung untuk membeli alat pancing lagi sehingga hasil pancingan Bapak bisa lebih banyak lagi," katanya menggurui.
"Apa gunanya bagi saya?" tanya si nelayan semakin keheranan.
"Begini. Dengan uang tabungan yang lebih banyak, Bapak bisa membeli jala. Bila hasil tangkapan ikan semakin banyak, uang yang dihasilkan juga lebih banyak, Bapak bisa saja membeli sebuah perahu. Dari satu perahu bisa bertambah menjadi armada penangkapan ikan. Bapak bisa memiliki perusahaan sendiri. Suatu hari Bapak akan menjadi seorang nelayan yang kaya raya."
Nelayan yang sederhana itu memandang si turis dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Dia berpikir, laut dan tanah telah menyediakan banyak makanan bagi dia dan keluarganya, mengapa harus dihabiskan untuk mendapatkan uang? Mengapa dia ingin merampas kekayaan alam sebanyak-banyaknya untuk dijual kembali. Sungguh tidak masuk diakal ide yang ditawarkan kepadanya.
Sebaliknya, merasa hebat dengan ide bisnisnya si pedagang kembali meyakinkan, "Kalau Bapak mengikuti saran saya, Bapak akan menjadi kaya dan bisa memiliki apa pun yang Bapak mau."
"Apa yang bisa saya lakukan bila saya memiliki banyak uang?" tanya si nelayan.
"Bapak bisa melakukan hal yang sama seperti saya lakukan, setiap tahun bisa berlibur, mengunjungi pulau seperti ini, duduk di dinding pantai sambil memancing."
"Lho, bukankan hal itu yang setiap hari saya lakukan Tuan. Kenapa harus menunggu berlibur baru memancing?" kata si nelayan menggeleng-gelengkan kepalanya semakin heran.
Mendengar jawaban si nelayan, si pedagang seperti tersentak kesadarannya bahwa untuk menikmati memancing ternyata tidak harus menunggu kaya raya.
Netter yang berbahagia, pepatah mengaPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0takan, jangan mengukur baju dengan badan orang lain. Si pedagang mungkin benar melalui analisis bisnisnya, dia merasa apa yang dilakukan oleh si nelayan terlalu sederhana, monoton, dan tidak bermanfaat. Mengeruk kekayaan alam demi mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya adalah wajar baginya.
Sedangkan bagi si nelayan, dengan pikiran yang sederhana, mampu menerima apa pun yang diberikan oleh alam dengan puas dan ikhlas. Sehingga hidup dijalani setiap hari dengan rasa syukur dan berbahagia.
Memang ukuran "bahagia", masing-masing orang pastilah tidak sama. Semua kembali kepada keikhlasan dan cara kita menyukuri, apa pun yang kita miliki saat ini.[aw]
Salam Sukses Luar Biasa!!!