15 March 2010

Saat Sifat Buruk Ditanggalkan, Sifat Baik Bermekaran

Anda pernah bertemu dengan orang yang sering bersikap negatif? Cara berpikirnya negatif. Cara bicaranya negatif. Cara menyampaikan pendapatnya negatif. Caranya memandang seisi dunia pun negatif. Sebaliknya, anda juga pasti pernah bertemu dengan orang yang sering bersikap positif. Segala sesuatu yang keluar dari mulutnya positif. Tulisan-tulisannya positif. Perilakunya positif. Dan caranya memandang seisi dunia juga positif. Pertanyaannya adalah; apakah perbedaan sikap kedua orang ini disebabkan oleh ’perbedaan gen’ dalam dirinya, atau perbedaan pilihan hidup yang diambilnya?

Jika berkunjung ke lapangan olah raga komplek kami, anda akan melihat pohon mangga yang tinggi dan besar. Dari kejauhan daunnya terlihat hijau rindang, disertai ranting-ranting bersilangan. Namun, kalau melihatnya dari dekat; anda akan tahu bahwa daun-daun hijau nan subur itu bukanlah daun mangga. Melainkan daun benalu yang tebal dan menjalar. Tidaklah mengherankan jika pohon mangga itu enggan berbuah. Kira-kira sebulan yang lalu, kami memotong sebagian pohon mangga itu. Terutama dicabang-cabangnya yang ditumbuhi para benalu. Tidak disangka, ternyata sedemikian banyaknya benalu itu sehingga sebuah mobil bak terbuka harus bolak-balik mengangkut sampahnya.

Hari minggu kemarin, saya berkumpul bersama beberapa warga lain dilapangan itu. Dan tanpa sengaja, kami melihat pohon mangga itu. Kami semua terkagum-kagum dengan pemadangan itu. Kenapa? Karena, sekarang pohon mangga itu dipenuhi oleh pucuk-pucuk daun muda yang besar-besar dan subur-subur. Sekarang, saya menjadi lebih faham; mengapa para bijak bestari sering menasihatkan kita untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang kita miliki. Sebab seperti benalu itu; sifat buruk menyebabkan sifat-sifat baik didalam diri kita enggan muncul ke permukan.

Memang, ada orang yang percaya bahwa sifat baik dan buruk seseorang itu sudah tercetak dalam kode-kode genetiknya. Sehingga, ada ilmuwan yang menduga bahwa orang-orang tertentu dilahirkan dengan bakat menjadi penjahat. Tapi, tidak pernah ada kesepakatan tentang kebenaran dugaan ini. Tuhan tidak adil jika menciptakan orang-orang tertentu dengan gen untuk menjadi manusia picik, berpikiran sempit, dan senang berprasangka buruk. Padahal, Dia menciptakan orang lainnya dengan gen untuk menjadi manusia yang baik, berperangai terpuji, serta sopan dan santun kepada lingkungannya.

Guru ngaji saya sewaktu disurau dulu menjelaskan kalau Tuhan berfirman bahwa; ”Pada saat meniupkan ruh kehidupan kepada janin manusia, Dia memasukkan kecenderungan sifat manusia kepada kebaikan, dan keburukan.” Oleh karenanya kelak ketika dewasa, seorang manusia memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri. Apakah dia memilih menjadi manusia yang berperangai baik, atau buruk.

Sayang sekali jika memilih untuk membiarkan sifat-sifat buruk tumbuh subur didalam diri kita. Sebab, saat kita memilih untuk menjadi buruk; sifat-sifat baik kita terkunci rapat. Misalnya, ketika kita memilih untuk memaki orang lain, maka sifat toleran kita tidak kelihatan. Saat kita malas, maka sifat rajin kita hilang. Saat kita membenci orang lain, maka sifat penyayang kita terkekang. Sebaliknya, ketika kita memilih untuk teguh hati, maka sifat cengeng langsung hengkang. Saat kita menghormati hak orang lain untuk berpendapat, maka sifat sok benar sendiri kita tidak mendapat tempat. Dan, saat kita memilih untuk berakhlak mulia, maka perilaku-perilaku tak terpuji kita pergi.

Apa peduli elu? Hidup, hidup gua. Mulut, mulut gua. Terserah mau gua pake apa! Ada orang yang berprinsip begitu? Banyak. Kita pun kadang-kadang demikian. Namun, kita lupa bahwa manfaat bersikap baik itu bukan untuk orang lain. Melainkan bagi diri kita sendiri. Sebab, jika kita berperilaku baik kepada orang lain, kemudian orang lain merespon dengan hal-hal yang baik pada kita; maka yang untung adalah kita. Sebaliknya, jika kita bersikap buruk kepada orang lain, lalu orang lain membenci kita, menjauhi kita, dan mengucilkan kita; maka kita akan kehilangan banyak kesempatan.

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menyadari bahwa berperilaku buruk itu sama sekali tidak memberi manfaat apapun kepada diri sendiri. Apakah dalam konteks hubungan sosial antar manusia, ataupun dalam konteks pekerjaan. Karena, jika kita membawa sifat-sifat buruk itu ke tempat kerja, misalnya; maka percayalah, kita tidak akan disukai teman. Tidak disayangi atasan. Tidak dihormati pelanggan. Sehingga pasti kita akan menjadi pegawai yang gagal. Sebaliknya, ada hadiah istimewa bagi mereka yang membawa perangai baiknya ke tempat kerja. Sebab, dengan sifat-sifatnya yang baik itu; dia akan selalu mendapatkan tempat terhormat, dimanapun dia berada.

Dibeberapa cabang pohon mangga itu sekarang bermunculan bunga-bunga bakal buah. Padahal, ini bukan musim mangga berbuah, loh. Semoga saja, hidup kita juga demikian. Ketika semua sifat buruk dari dalam diri kita dibuang; maka segala sesuatu yang kita lakukan akan membuahkan hasil. Bahkan, dalam bentuk dan jumlah yang tidak pernah kita bayangkan.

Pantaslah kalau Tuhan kemudian berfirman:”Janganlah Engkau mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan”. Karena ternyata benar bahwa keburukan-keburukan sifat kita bisa menyingkirkan sifat baik. Sebaliknya, sifat baik kita bisa mengusir sifat buruk. Jadi, bagaimana caranya menjadi orang baik? Gampang; tanggalkan semua sifat buruk dari dalam diri kita. Karena, ketika benalu yang menempel di batang pohon mangga itu kita buang; dia menemukan kembali kegairahan hidupnya. Kemudian pucuk-pucuk daun yang indah bermunculan. Dan bunga-bunganya, bermekaran.

Saatnya koneksi internet anda menghasilkan pasive income yang menjadi sumber penghasilan Anda

Tak Ada Yang Bisa Menghentikan Mereka Yang Pantang Menyerah

Anda pernah gagal? Aneh sekali jika tidak. Karena, setiap orang yang pernah membuat pencapaian bermakna, pasti pernah gagal. Jadi, jika merasa tidak pernah gagal; mungkin perlu dicek kembali pencapaian-pencapaian kita selama ini. Tetapi, sungguhkah setiap orang yang pernah mencoba pernah gagal? Ya. Memang demikian. Tetapi, mengapa ada orang yang kemudian berhasil, dan ada yang tidak? Tahukah anda apa gerangan penyebabnya?

”Aku tidak pernah kehilangan rasa kagum pada pohon pisang.” begitu saya bilang kepada istri saya ketika melintasi pintu gerbang komplek perumahan kami. Disana ada sebidang tanah kosong yang ditumbuhi beberapa rumpun pohon pisang. Ketika melintasinya, saya melihat beberapa batang pohon yang tumbuh dari pohon yang sudah ditebang. ”Karena,” saya melanjutkan. ”Mereka tidak pernah berhenti untuk tumbuh meski sudah ditebang.”

Mendengar pernyataan itu, istri saya tertawa geli. ”Iya,” katanya. ”Temanku sampai mencincangnya berkali-kali.” lanjutnya.

”Mencincang pohon pisang?” Saya dilanda keheranan. Kok ada orang yang mencincang pohon pisang. Bagi saya, kata ’mencincang’ memiliki unsur horor yang diciptakan dari kekesalan seseorang terhadap sesuatu. Kecuali ’daging cincang’, tentu saja.

Lalu, istri saya menceritakan tentang temannya yang membeli sebuah rumah minimalis yang cantik. Namun, dihalaman rumahnya terdapat pohon pisang. Rasanya janggal ditengah kota ada rumah minimalis yang ’dihiasi’ pohon pisang dihalamannya. Sangat mengganggu pemandangan. Maka, ditebanglah pohon pisang itu. Masalahnya, setiap kali ditebang sang pemilik baru rumah minimalis itu; sang pohon pisang selalu tumbuh lagi. Ditebang lagi. Tumbuh lagi. Sampai-sampai pemilik rumah kesal. Hingga, suatu kali dicincangnya itu batang pohon pisang. Matikah pohon pisang itu setelah dicincang? Subhanallah. Dia tumbuh lagi!

Setelah seluruh upayanya untuk ’mematikan’ pohon pisang itu gagal, akhirnya teman istri saya memutuskan untuk ’mengijinkannya’ tumbuh dihalaman. ”Yah sudahlah..., kalau berbuah nanti bisa dimakan juga,” begitu sang pemilik rumah bilang.

Anda yang pernah membaca buku pertama saya ’Belajar Sukses Kepada Alam’ tentu masih ingat kisah seorang petani yang mengajarkan nilai-nilai keteguhan hati kepada anaknya. Beliau menggunakan pohon pisang sebagai media untuk menunjukkan keutamaan sifat pantang menyerah itu. Sebab, pohon pisang; tidak mau mati ketika ditebang. Dia hanya akan bersedia mati, setelah dia berbuah. Kalau dia ditebang sebelum berbuah, jangan harap anda dapat membunuhnya. Lalu, petani itu berkata kepada anaknya; ”Ada satu cara yang tidak mungkin membiarkan engkau gagal, Nak.”

”Apakah gerangan itu Ayahanda?” Tanya sang anak.

”Yaitu, engkau tidak berhenti melakukan sesuatu; sebelum berhasil.” jawabnya.

Apa yang saya ceritakan diatas bukanlah kisah rekaan belaka. Melainkan sebuah realitas yang jika kita resapi maknanya; akan menunutun kita kepada sebuah keunggulan pribadi kelas tinggi. Sebab, seseorang yang memiliki semangat hidup seperti pohon pisang tidak akan pernah berhenti sebelum dia berhasil mewujudkan cita-citanya. Karena, falsafah hidup pohon pisang berbunyi;”tidak akan pernah menyerah, sebelum berbuah.” Sehingga, orang-orang yang menerapkan falsafah itu; tidak akan pernah menyerah, sebelum berhasil mewujudkan tujuan hidupnya.

Apa tujuan hidup anda? Saya tidak tahu. Yang pasti, tidak satupun manusia dimuka bumi ini yang tidak memiliki tujuan hidup. Apa tujuan hidup pohon pisang? Untuk berbuah. Kita tanya sekali lagi; apa tujuan hidup anda? Mungkin untuk berbuah juga. Namun, buah yang kita hasilkan bukan berupa tumbuhnya organ atau bagian tubuh secara fisikal. Melainkan, sebuah karya yang dihasilkan oleh tindakan dan perbuatan yang kita lakukan.



Jikapun kita masih belum mampu mendifinisikannya, tidak berarti tidak memilikinya. Karena, manusia normal memiliki ’will’ atau kehendak. Sehingga, pastilah mereka mempunyai dorongan dari dalam diri untuk berprestasi. Atau mencapai sesuatu dalam hidupnya. Oleh karenanya, sekalipun kita belum mampu mendefinisikan tujuan hidup kita dengan jelas, namun kita selalu memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu. Dan itu bisa berarti sebuah anak tangga untuk menuju kepada wujud ’tujuan hidup itu’. Misalnya, ingin mendapatkan jabatan lebih tinggi lagi. Ingin memiliki uang lebih melimpah lagi. Ingin menjual lebih banyak lagi. Ingin memberi manfaat kepada orang lain lebih besar lagi. Ingin menjadi orang yang lebih penyayang. Dan sebagainya. Anda tentu memiliki keinginan-keinginan semacam itu, bukan?



Sekarang, coba periksa lagi; apakah perjalanan kita untuk mewujudkan keinginan itu selalu berjalan dijalur mulus. Atau selalu melintasi jalan terjal, licin, dan berliku? Yah, kadang-kadang segala sesuatu berjalan seperti yang kita inginkan. Namun, kita tahu bahwa tidak selamanya semudah itu. Pada saat segala sesuatunya indah, tentu hati kita berbunga-bunga. Hingga kita sering lupa daratan. Namun, pada saat segala sesuatunya begitu sulit; kita sering sekali mudah patah semangat. Dan gampang menyerah.



Padahal, pohon pisang itu tidaklah demikian. Bahkan setelah berkali-ali dicincang; dia tumbuh lagi. Dan terus tumbuh lagi. Saat sang pemilik rumah menemukan bahwa tidak ada gunanya terus menerus menebang pohon pisang; kita jadi tahu bahwa tak ada yang bisa menghentikan mereka yang pantang menyerah. Sebab, mereka yang pantang menyerah tidak akan pernah berhenti untuk berusaha. Seberat apapun tantangan yang mereka hadapi. Seperih apapun penderitaan yang mereka alami. Sesulit apapun rintangan yang mereka lintasi.

Duh, andai kita mampu mencerna falsafah pohon pisang itu. Lalu meresapinya didalam hati. Kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin tak ada satu hal pun dimuka bumi ini. Yang mampu membuat langkah kita terhenti. Karena, dengan falsafah itu; maka kita. Tidak akan pernah berhenti. Sebelum Berhasil. Mewujudkan. Tujuan hidup kita.
Anda Pasti juga Bisa mewujudkannya