19 July 2007

3 Hambatan & 3 Resolusi

Oleh : Stephen R. Covey
Sumber : www.inspirasiindonesia.com

Seringkali kita sadar kita mempunyai kebiasaan buruk, semisal, menunda-nunda pekerjaan, mengkritik orang tanpa berpikir panjang, makan atau tidur berlebihan, dan sebagainya. Kemudian kita ingin memperbaiki keburukan tersebut dengan mencanangkan resolusi perubahan diri. Kita menumbuhkan kemauan dan tekad untuk berubah. Tetapi seringkali tekad saja tidak cukup. Kita harus menggunakan banyak usaha dan tenaga untuk membentuk perilaku baru, karena pada saat yang sama perilaku lama menarik kita tetap pada kebiasaan-kebiasaan lama. Perubahan itu terasa amat sulit pada awalnya. Mungkin kita harus mengorbankan "kebebasan" kita untuk melakukan hal-hal yang kita sukai sampai kebiasaan baru terbentuk dengan kuat dan keinginan kita untuk kembali kekebiasaan lama berkurang. Hal ini sama halnya dengan pesawat yang lepas landas. Terasa sulit di awal, karena masih besarnya pengaruh gravitasi, tetapi ketika sudah mengudara, semuanya menjadi lebih mudah.

TIGA KEKUATAN PENGHAMBAT
Penting sekali kita perhatikan ada tiga kekuatan besar yang membuat kita terpaku pada kebiasaan-kebiasaan lama, yaitu:

1--Hasrat dan nafsu.
Kita semua kadang-kadang mengalah pada hasrat - keinginan dan kebutuhan badaniah (misal, makan, minum, tidur). Banyak orang menjadi budak dan pecandu makanan dan minuman. Perut mengontrol pikiran dan badan. Dan ini penuh dengan resiko. Di saat kita menjadi berlebih-lebihan, kita menjadi kurang peka terhadap kebutuhan orang lain. Kita mudah menjadi marah pada diri sendiri dan menimpakan kemarahan itu pada orang lain, kadang-kadang hanya disebabkan oleh hal-hal sepele. Maka dari itu, apabila kita dikendalikan oleh hasrat dan nafsu, kita pasti mempunyai masalah dalam berhubungan dengan orang lain.

2--Kesombongan dan kepura-puraan.
Kalau kita tidak mampu menerima diri kita sendiri, kita menggunakan cermin sosial untuk memperoleh identitas dan jati diri kita. Dengan demikian, konsep diri berasal dari apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang kita. Maka, kita pun menngatur hidup kita menurut harapan orang lain. Semakin kita hidup menurut harapan orang lain, semakin kita tidak bisa menerima diri kita sendiri dan berpura-pura. Padahal harapan selalu beurbah-ubah. Dan sewaktu kita terus bersandiwara menuruti kecongkakan dan kesombongan, kita menipu diri sendiri, dan karena merasa terancam, kita terus berjuang mempertahankan citra palsu itu.



3--Keinginan dan ambisi
Apabila kita dibutakan oleh ambisi, kita minta dipahami terlebih dahulu dan berusaha mendapatkan kemuliaanPOST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0POST http://www.blogger.com/post-create.do HTTP/1.0, jabatan, kekuasaan, dan kenaikan pangkat, bukannya memandang waktu, bakat dan harta milik sebagai karunia yang harus kita pertanggung jawabkan. Orang-orang yang berambisi itu sangat possesif. Mereka menaksir segala sesuatu berdasarkan pada manfaat bagi dirinya. Setiap orang menjadi pesaing. Hubungan mereka - bahkan yang intim dan dekat - cenderung bersifat persaingan. Mereka memakai berbagai cara manipulatif untuk mencapai tujuan mereka.

TIGA RESOLUSI UNIVERSAL
Setelah mengetahui kekuatan-kekuatan yang menghambat kemajuan diri, maka selanjutnya kita harus berlatih untuk mengatasi hamabat-hambatan tersebut. Mau tidak mau kita harus menjalani peperangan pribadi dan memenangkan diri sendiri. Dan, kita semua memiliki kesempatan untuk memenangkan peperangan publik kita di dalam pikiran kita sebelum perang itu benar-benar menjadi kenyataan. Atasi itu dalam pikiran terlebih dahulu. Kita bisa mengatasi ambisi, egoisme, kecenderungan negatif, ketidaksabaran, kemarahan, kebiasaan menunda-nunda dan rasa tidak bertanggung jawab. Lawanlah hal-hal ini dan menangkan peperangan dengan gagah sebelum kita melakukannya dalam kenyataan. Kita bisa mengatasi kekuatan-kekuatan penghambat tersebut di atas dengan membuat dan memenuhi tiga resolusi universal berikut.

1--Resolusi pertama: untuk mengatasi kekuatan penghambat berupa selera dan nafsu, saya memutuskan untuk menjalankan disiplin diri dan penyangkalan diri.

Ketika kita terlalu mengumbar selera dan nafsu badani, kita merusak proses mental dan penilaian kita dan juga hubungan sosial kita. Tubuh merupakan ekosistem dan apabila sisi ekonomis atau fisik kita tidak berimbang, semua sistem lain akan terpengaruh. Itulah alasan mengapa kebiasaan untuk memperbaharui diri (ingat kebiasaan ke tujuh: mengasah gergaji) demikian mendasar. Prinsip-prinsip penguasaan diri, konsistensi, dan disiplin diri menjadi dasar seluruh kehidupan seseorang. Mengumbar nafsu merugikan perhitungan dan kearifan kita.

Saya sadar bahwa banyak orang yang tidak mengendalikan diri namun tetap menunjukkan kebesaran dan kejeniusannya. Tetapi, dengan berjalannya waktu sikap tersebut akan mengalahkan orang itu. Lihatlah, banyak orang terkenal dan kaya telah kehilangan kekayaan dan keyakinan, keberhasilan dan keefektifan dirinya karena tidak bisa mengendalikan diri. Contoh lain, tentang kesehatan. Memelihara kesehatan membutuhkan lebih dari sekedar sikap bijak. Semakin tua kita semakin berada di persimbangan arus antara kebutuhan akan disiplin serta pengekangan diri dan keinginan untuk bebas bersantai melepaskan kendali. Kita mungkin merasa telah melakukan segala kewajiban dan berhak untuk bebas. Namun, bila kita menjadi permisif dan menuruti diri kita snediri, kualitas kehidupan dan kerja propfesional kita akan terkena akibat buruknya.

2--Resolusi kedua: untuk mengatasi kekuatan penghambat berupa kesombongan dan kepalsuan, saya memutuskan untuk memperbaiki karakter dan kecakapan.

Apabila kita menuruti selera dan nafsu, kita dapat dengan mudah tergoda oleh kesombongan dan kepalsuan. Kita kemudian mulai berpura-pura, bersandiwara dan menguasai teknik-teknik manipulasi. Apabila definisi konsep diri kita merupakan hasil dari anggapan orang lain pada kita - dari cermin sosial - kita akan menjalankan hidup ini dengan keingan dan harapan mereka. Semkain kita menjalani hidup untuk memenuhi harapan orang lain, semakin kita lemah, dangkal dan tak aman.

Seorang eksekutif muda, misalnya, ingin menyenangkan atasannya, rekan kerja dan bawahannya, namun dia mendapatkan bahwa kelompok-kelompok orang ini menuntut hal-hal berbeda-beda darinya. Maka dia mulai bersandiwara dan
berpua-pura agar dapat diterima bergaul atau terhindar, untuk menyenangkan atau menenangkan. Dalam jangka panjang dia mendapatkan bahwa dalam usahanya menjadi "segalanya bagi orang lain", pada akhirnya dia menjadi bukan apa-apa bagi setiap orang. Akhirnya diketahuilah apa dan siapa dirinya. Dia kehilangan harga diri dan tidak dihargai oleh orang lain. Memang kita harus menaruh perhatian pad apendapat dan persepsi orang lain sehingga kita dapat lebih efektif dengan mereka, akan tetapi kita harus menganggap pendapat mereka bukanlah suatu kenyataan yang harus kita tindaki atau tanggapi.

Apabila kita amati kemarahan, kebencian, kecemburuan, keirihatian, kesombongan, dan prasangka atau emosi dan nafsu negatif lain, maka hal itu seringkali disebabkan karena kita ingin diterima dan dihargai oleh orang lain. Karena itu, anda harus hidup selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama anda. Anda dapat berterus terang, jujur dan bertindak langsung. Dan tidak ada yang lebih mengganggu bagi orang-orang yang licik dan bermuka dua daripada kejujuran yang tak ditutup-tutupi.

3--Resolusi ketiga: untuk mengatasi kekuatan penghambat berupa keinginan dan ambisi yang tidak dapat dikekang, saya memutuskan untuk membaktikan bakat-bakat dan ketrampilan-ketrampilan saya bagi tujuan-tujuan mulia dan untuk melayani sesama.

Jika orang berusaha menjadi nomor satu dan mencari keuntungan sendiri, mereka tidak akan menghayati makna pelayanan. Mereka mungkin berbicara mengenai pelayanan, tetapi mereka akan selalu berusaha untuk menonjolkan kepentingan mereka sendiri. Mereka mungkin berdedikasi dan bekerja keras, tetapi tidak berfokus pada pelayanan. Mereka hanya berfokus pada kekuasaan, kekayaan, ketenaran, posisi, dominasi dan harta benda. Orang yang ber-etika memandang setiap transaksi ekonomi sebagai seuatu ujian terhadap pelayanan moralnya, Itulah sebabnya, kerendahan hati merupakan induk dari semua kebajikan. Sebab kerendahan hati mendorong pelayanan. Sebelum orang memilki semangat pelayanan, mereka mungkin akan berkata bahwa mereka menyukai apa yang emreka lakukan, namun mereka membenci kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hal itu. Ini adalah sikap mendua, yaitu memiliki motif yang saling bertentangan yang membawa kita pada peperangan dengan diri kita sendiri. Yang lebih buruk, seringkali peperangan kita berakibat menjadi peperangan dengan orang lain. Maka, lawanlah sikap mendua ini dengan integritas diri. Dan, integritas dapat kita peroleh dengan membaktikan diri kita kepada pelayanan tulus bagi orang lain.

(Diadaptasi dari: Stephen R. Covey, Principle Centered Leadership, bab 3 dan 4)

No comments: